Musyawarah Itu Beda dengan Demokrasi, Ini Penjelasan Kiai Didin
Bogor (SI Online) – Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc menegaskan bahwa musyawarah itu berbeda dengan demokrasi.
“Ada hal yang sangat berbeda antara musyawarah dengan demokrasi yang merupakan pilihan yang diambil sejumlah negara,” kata Kiai Didin dikutip Suara Islam Online, Senin (13/12) melalui kajian online di Kalam TV.
Demokrasi itu, kata Kiai Didin, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. “Walaupun belum tentu benar suara terbanyak itu,” ujarnya.
“Kalau kebanyakan orang setuju misalnya perzinahan dianggap sesuatu yang legal, maka itu bisa diakui menjadi sebuah kebenaran dan boleh dilakukan,” tambah Kiai Didin.
Sebaliknya dalam musyawarah, hukum sudah ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya. “Musyawarah itu bukan membicarakan soal halal dan haram, boleh atau tidak boleh, wajib atau tidak. Itu semua sudah ada ketetapannya, jangan disyurokan lagi,” jelasnya.
Ketua Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) itu menegaskan, isi atau ketetapan dari ajaran Islam tidak perlu dimusyawarahkan lagi. Tetapi musyawarah itu tujuannya mengimplimentasikan apa yang harus dilakukan.
Zina itu haram, maka musyawarah diperlukan bagaimana menjalankan aturan pelarangan zina di masyarakat.
“Riba itu haram, maka musyawarah dilakukan untuk membahas bagaimana menata kegiatan ekonomi supaya bebas riba dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara luas,” jelas Kiai Didin.
“Jadi musyawarah itu diperlukan dalam menata kehidupan, bukan merubah hukum yang sudah ditetapkan Allah dan Rasulnya,” tandas Ketua Umum Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) itu.
red: adhila