Narasi Sesat di Balik Kebijakan Pajak
Polemik pajak terus bergulir. Meskipun pemerintah meyakinkan rakyat bahwa PPN 12% hanya untuk barang mewah, tetapi fakta berbicara harga-harga barang lain tetap naik. Kenaikan ini dikenakan atas sejumlah barang dan jasa yang cukup sering diakses masyarakat sehari-hari.
Sebutlah, PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dadi pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan, dan sebagainya.(Kompas.id, 3 Januari 2025).
Ya, ketidakjelasan terkait barang dan jasa yang akan terkena PPN 12% di awal kebijakan ini muncul berujung fatal. Sebab, penjual telah memasukan PPN 12% pada semua jenis barang. Akibatnya, harga yang sudah naik tidak dapat dikoreksi, meskipun aturan menyebutkan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja.
Ironisnya, negara tampak cuci tangan dengan dukungan media partisan. Ini tampak dari pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, yang memastikan bahwa paket kebijakan insentif dan stimulus tetap berlaku meskipun kenaikan PPN menjadi 12% hanya untuk barang dan jasa mewah.
Menkeu pun menyebutkan bahwa pemerintah telah memberikan paket kebijakan insentif dan stimulus antara lain: (1) pajak penjualan rumah seharga Rp2 miliar akan ditanggung 100 persen oleh pemerintah; (2) insentif PPN untuk kendaraan hybrid dan kendaraan listrik; (3) pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun tidak perlu membayar PPh; serta (4) insentif diskon listrik 50 persen untuk pelanggan di bawah 2.200 VA. (tirto.id, 2 Januari 2025).
Klaim bahwa beragam insentif dan stimulus tersebut merupakan upaya pemerintah untuk meringankan hidup rakyat pun santer terdengar. Padahal, sejatinya negara tengah memaksakan kehendak kepada rakyat dengan membuat narasi menyesatkan, yakni seolah-olah berpihak pada kepentingan rakyat.
Kebijakan kenaikan PPN yang dibarengi dengan narasi yang menyesatkan merupakan bukti bahwa negara telah abai terhadap aspirasi dan derita rakyat. Kenaikan PPN niscaya akan membuat ekonomi rakyat tertekan. Sementara, berbagai bantuan pemerintah tersebut hanyalah bersifat sementara, mustahil menghilangkan beban derita rakyat hingga tuntas.
Kebijakan kenaikan PPN 12% ini pun nyata makin menguatkan profil pemimpin yang populis otoriter. Inilah wajah hakiki pemimpin dalam naungan demokrasi-kapitalisme. Sistem ini sukses menjadikan negara sebagai pebisnis bagi rakyat. Kepemimpinan ini sukses melahirkan pemimpin yang krisis empati dan kasih sayang terhadap rakyat. Tega mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang menyengsarakan rakyat. Menjauhkan rakyat dari kata sejahtera.
Realitas kehidupan dalam kepemimpinan demokrasi-kapitalisme inilah yang menuntut adanya perubahan terhadap profil penguasa yang saleh sebagai pemimpin. Tentu saja bukan pemimpin yang penuh polesan pencitraan seperti pemimpin dalam naungan demokrasi-kapitalisme saat ini, tetapi pemimpin saleh dalam naungan sistem yang sahih.
Profil penguasa yang saleh niscaya mampu mengemban amanah sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah Saw, “Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari). Kepemimpinan seperti inilah yang akan membawa keberkahan dan kebaikan bagi rakyat.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Kitab Syakhsyiyah Islamiyah, Jilid 2, dalam salah satu babnya menyebutkan bagaimana tanggung jawab seorang pemimpin atas dirinya dan rakyat agar dapat menjadi pemimpin yang saleh. Tanggung jawab penguasa yang harus dipenuhi berkaitan dengan dirinya adalah dia harus memiliki kekuatan, ketakwaan, kelemahlembutan terhadap rakyat, serta tidak menimbulkan antipati.