Nasib Bahasa Indonesia

***
Penting untuk diambil pelajaran tentang ‘hilangnya huruf Arab Melayu/Arab Jawi’ dalam sejarah bahasa di Indonesia. Padahal huruf Arab Melayu ini tadinya menjadi bahasa pengantar dalam pelajaran sekolah/pesantren, bahasa buku-buku ulama Nusantara, bahasa dalam hubungan perdagangan, bahasa kerajaan dan lain-lain.
Bahasa Arab Jawi ini, menurut keterangan Akademi Jawil Malaysia, mulai terbentuk sekitar tahun 1300 Masehi. Yaitu dengan ditemukannya manuskrip Batu Surat Trengganu (1303M). Para ulama Nusantara saat itu memang kreatif. Dalam usaha mendekatkan masyarakat agar mudah faham bahasa Arab, maka mereka menciptakan huruf Arab Jawi sebagai batu loncatan untuk mengenal huruf Arab Hijaiyah. Mereka mencipta beberapa huruf yang tidak ada dalam huruf Arab Hijaiyah, tapi digunakan luas dalam pergaulan di Nusantara. Yaitu : huruf pa (padi), ca (cara), huruf nga (ngantuk), huruf ga (gampang) dan nya (nyaman).
Tapi sayang penggunaan bahasa Arab Jawi itu yang luas diantaranya di sekolah-sekolah itu ‘dihapuskan’ resmi oleh Presiden Soekarno. Orde lama yang dekat Komunis itu, mengeluarkan kebijakan sekolah-sekolah di Indonesia harus menggunakan huruf latin. Sehingga berangsur-angsur hilanglah huruf Arab Jawi itu.
Penulis sendiri, ketika bersekolah di Sekolah Arab/Madrasah tahun 1970-an masih merasakan tulisan Arab Jawi ini. Saat itu guru penulis, mewajibkan semua murid yang sekolah harus menulis dalam huruf Arab Jawi. Tidak boleh menulis dalam bahasa Latin. Kakek penulis yang kebetulan guru di sebuah surau di Bojonegoro, ‘hanya bisa membaca dan menulis dalam huruf Arab Jawi’.
Generasi millenial di Indonesia kini mayoritas tidak mengenal huruf Arab Jawi. Ketika pemerintah Orde Lama mengeluarkan kebijakan penghapusan bahasa Arab Jawi ini, sebenarnya pemerintah sedang memutus rantai intelektualisme atau peradaban Islam dalam peradaban Indonesia. Anak-anak muda di tanah air, menjadi tidak mengenal cendekiawan-cendekiawan Islam Nusantara terkemuka dahulu yang menulis karyanya dalam bahasa Arab Melayu. Seperti : Hamzah Fansyuri, Nuruddin ar Raniri, Abdur Rauf as Sinkili, Dawud al Fatani, Raja Ali Haji dan lain-lain.
Ulama-ulama Nusantara saat itu, selain menulis buku dalam bahasa Arab atau Arab Melayu, mereka juga menerjemahkan karya-karya terkemuka ulama Timur Tengah. Misalnya karya Imam Ghazali dan Imam an Nasafi.
Salah satu tokoh yang sangat peduli dalam masalah bahasa ini adalah Prof Naquib al Attas. Seorang ulama, cendekiawan Islam asal Bogor yang kini tinggal di Malaysia. Al Attas bisa disebut sebagai Ahli Islamisasi Ilmu dan Sejarah Melayu. Karya-karyanya mendalam, dan kini menjadi rujukan banyak intelektual muda Islam di Indonesia dan Malaysia.
Kesadaran pentingnya anak-anak muda mempelajari kembali bahasa Arab Jawi ini mulai tumbuh di kalangan cendekiawan Islam di Nusantara-Melayu. Di Malaysia misalnya, kini dibentuk Akademi Jawi Malaysia (www. akademijawi.my) untuk mengenalkan sejarah dan pentingnya bahasa ini. Di Depok, Jawa Barat, ditumbuhkan Pesantren Adab dan Ilmu (PADI) yang mengajarkan bahasa Arab Jawi untuk anak-anak Sekolah Dasar.
Memang tidak mudah mengembalikan peradaban Islam di Indonesia seperti di masa-masa awal Islam mewanai tanah air. Belanda, Jepang dan elite-elite politik di tanah air, selama ratusan tahun telah berusaha menjauhkan Islam dari pendidikan di Indonesia. Padahal pendidikan adalah ruh atau dasar untuk membentuk sebuah peradaban bangsa.
Ya begitulah nasib pendidikan bangsa kita sekarang ini. ‘Rekayasa Pendidikan’ menjauhkan murid dari agamanya telah berlangsung lama di negeri ini. Kita bisa melihat mulai digantinya kata murid menjadi siswa. Kata murid, yang digulirkan secara cermat oleh ulama-ulama Islam dahulu, diganti pemerintah dengan kata siswa menginduk pada Taman Siswa Ki Hajar Dewantoro. Murid dari kata araada-yuriidu-muriidan. Maknanya orang mempunyai kehendak. Orang yang mempunyai kemauan. Orang yang mempunyai cita-cita. Sedangkan siswa? Wallaahu aliimun hakiim.
Nuim Hidayat, Penulis Buku “Agar Batu Bata Menjadi Rumah yang Indah.“