Nasib FPI dan Kualitas Demokrasi Kita
Front Pembela Islam telah dibubarkan secara resmi. Tidak main-main, ada enam kementerian/lembaga negara turut menekan surat keputusan itu.
Kontan saja, ini menjadi polemik. Diskursus tak henti. Setidaknya, kita bisa menemukan dua hal tanggapan di publik.
Pertama, ada yang ingat ceria. Memang sudah sepantasnya FPI dibungkam dan ditutup ruang geraknya. Semenjak lahirnya selalu membuat keonaran dan langkah yang ambisius. Memprovokasi dan kurang dewasa menerima perbedaan.
Sebuah langkah bagus pemerintah menekan pelarangan melalui Menkopolhukam yang kita tahu, yang kurang bersahabat dengan FPI medan juang. Katanya, pembubarannya bagian dari melindungi negara agar tetap aman dan tentram. Walau terlihat ada muatan selain itu. Entah apa.
Tanggapan kedua, juga terlihat dari mereka pengamat kualitas kebijakan pemerintah. Ada yang berbicara di media, pembubaran itu bagian dari kesewenangan. Amnesty Internasional menyoroti sebagai perampasan hak sipil. Kebebasan yang sedang dipagar.
Bukan tak mungkin, setelah HTI dan FPI akan ada ormas lain yang terkena delik lain. Alasannya sederhana. Terlalu vokal. Itu saja.
Bagi saya, membubarkan dan membungkam bukan cara terbaik memperbaiki demokrasi kita yang kurang ideal. Itu bukan memperbaiki, yang ada menambah daftar suram. Cara klasik selayaknya diubah dengan mengedepankan musyawarah mufakat untuk persatuan bangsa.
Alangkah bijak merangkul sesui sebab-sebab langkah ormas — kalau ada – masih sweeping dan mendahului aparat hukum. Ada apa dan kenapa? Dicari dan ditelusuri biar tuduhan tak bias.
Benarkah suara FPI representatif wong cilik, atau klaim belaka atas jerit rakyat?