Negara ‘Rubbish Economic’
Ketika ada suatu keharusan hilirisasi, justru yang diuntungkan, adalah pelaku korporasi aseng yang mayoritas berasal dari Tiongkok China.
Alih-alih itu pun ada campur tangan di beberapa kementerian kabinet yang secara personal, adalah para pengusaha tambang pula. Itulah betapa super power yang mengkoneksikan antara kepentingan kotor Penguasa-Pengusaha.
Dan perputaran di bisnis pertambangan ini setelah hilirisasi ini seharusnya bisa memperkaya income bagi negara boleh jadi menjadi semakin bertambah menjadi puluhan ribu trilyun. Yang mengait mimpi kemakmuran rakyat di langit terniscayakan dan hutang seluruh debitur sebesar 20.000 triliun pun terlunaskan.
Tetapi, nyatanya dari income hilirisasi pertambangan itu tetap masih tak mampu memberi konstribusi kenaikan pajak sekalipun dalam neraca negara APBN. Lantas, dipastikan profitabilitasnya dalam ribuan trilyun itu menguap terbang lagi ke luar negeri.
Belum lagi serbuan proyek membangun kota-kota baru di banyak pantai utara Jawa, Sumatera, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, NTT dan NTB oleh perusahaan-perusahaan raksasa properti hanya berkecenderungan menjadi serbuan pasar warga negara kaya RRC yang statusnya tak jelas berimigrasi tetap atau tidak? Namun diberikan kebebasan membangun usaha bisnis infrastruktur kotanya itu.
Berikut dengan kepemilikan rumah-rumah mewah itu di dalamnya: tetap saja menjadikan perputaran dananya terbang kembali ke negara asalnya, RRC.
Ironisnya, bagi pemerintahan negara ini, malah justru status kota-kota baru seperti di PIK I dan PIK II dijadikan statusnya proyek strategis nasional. Yang akan mendapatkan privilese tambahan banyak manfaat lagi.
Lantas, buat apa pula banyak ribuan kilometer jalan tol, pelabuhan dan bandara dibangun jika pada akhirnya kemudian dijual lagi ke tangan asing, khususnya banyak diambil alih oleh korporasi RRC? Begitu pun membangun KCJB dan perluasannya, juga IKN kalau hanya beratus-ratus kali diingatkan jika tak memberi manfaat domestik bagi negara? Yang terjadi malah semakin kencangnya pelarian dana keluar negeri?
Efek “the rubbish sconomic” berikut digitalisasinya sudah jelas mengganggu bahkan bisa merusak kedaulatan ekonomi negara Indonesia.
Dan selama satu dekade Presiden Jokowi selaku pemimpin pemerintahan negara lengah, lebay dan abai, sama sekali tanpa perhatian dan tanpa mempedulikan yang masalahnya sesungguhnya dampaknya akan mengerikan sekali.
Di periode lima tahun kedua hanya rudet, ruwet dan rumit merancang, mengolah dan merekayasa hukum dan politik kekuasaan yang menyimpang untuk kepentingan diri dan keluarganya.
Itu dilakukan bersama DPR, MA dan MK dengan caranya melakukan kolusi dan nepotisme, di ujungnya demi pembagian tahta dan harta yang bareng-bareng pula melalui korupsi berjamaah.
Dan itupun demi kelangsungan berkelanjutan dan berkepanjangan kekuasaannya dengan merancang politik dinasti yang sudah dipegang oleh kedua tangannya kini.