Negara tanpa Pajak, Mungkinkah?

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil maksu (pungutan haram),” (Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 17333, Sunan Abu Dawud no. 2937).
Sungguh, ancaman yang begitu keras bagi siapapun yang menarik harta tanpa dibenarkan oleh syariat. Islam tidak hanya memberikan larangan dan status hukum keharaman atas sesuatu, melainkan juga memberikan solusi bagi permasalahan tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah terkait sistem ekonomi, khususnya berkenaan dengan sumber-sumber pemasukan negara.
Dalam sistem ekonomi Islam, berlaku konsep istikhlaf. Seluruh harta kekayaan adalah milik Allah ﷻ dan diberikan pada manusia untuk dikelola sesuai dengan syariat-Nya. Tidaklah harta itu boleh dimiliki dan dimanfaatkan melainkan dengan cara yang halal yang telah Allah ﷻ kehendaki. Sehingga, dalam konteks bernegara, tidak boleh ada sepeserpun harta yang dipungut atau dibelanjakan tanpa ada dalil-dalil syar’i yang menyertainya.
Berdasarkan dalil-dalil yang syar’i, telah dirumuskan di dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah karya Syeikh Abdul Qadim Zallum terkait dengan pos-pos pemasukan negara ini.
Tidak kurang dari 12 pos pemasukan yang beliau jabarkan, diantaranya: pendapatan dari harta rampasan perang (anfaal, ghaniimah, fai dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; pungutan dari non-Muslim yang hidup dalam Negara Islam (jizyah); harta milik umum; harta milik negara; harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyur); harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram; harta rikaz dan tambang; harta yang tidak ada pemiliknya; harta orang-orang murtad; pajak; dan zakat.
Pajak dalam ketentuan syariat, atau yang disebut juga sebagai dlaribah, tidaklah menjadi pemasukan utama dan tetap. Pajak hanya akan dipungut ketika kas negara (Baitul Maal) dalam keadaan kosong dan negara sedang membutuhkan untuk pembiayaan pelayanan umat yang mendesak, pun hanya akan ditarik dari kaum muslimin yang kaya–telah mampu memenuhi kebutuhan primernya, serta kebutuhan sekunder dengan layak, dan masih terdapat sisa dari hartanya. Jumlahnya pun bukan ditarik sebanyak-banyaknya, melainkan negara akan melakukan kalkulasi berapa yang dibutuhkan dan untuk apa ditujukan. Begitu penarikan sudah dilakukan dan sudah cukup memenuhi dari apa yang dibutuhkan, maka pungutan pajak pun dihentikan.
Adanya 12 pos sumber pemasukan itu akan menjamin keberlangsungan dan kemampuan negara dalam mengurusi rakyat, serta memenuhi hak-haknya. Terkhusus dengan pos pemasukan dari SDA melimpah yang telah Allah ﷻ karuniakan. Berbagai SDA ini haram hukumnya diberikan kepada pihak swasta maupun asing yang jelas berorientasi pada profit semata dan bukannya kesejahteraan rakyat. Negara fokus mengelola berbagai SDA ini secara mandiri untuk kemaslahatan rakyat. Sebagaimana yang Rasulullah ﷺ sampaikan:
المُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاثٍ: فِي الكَلَإِ، وَالمَاءِ، وَالنَّارِ
“Kaum muslimin berserikat (memiliki hak bersama) dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api,” (HR. Abu Dawud no. 3477; Ahmad no. 23102; Ibnu Majah no. 2472. Hadits ini dinyatakan hasan oleh al-Albani).
Namun demikian, sudah barang tentu pengelolaan secara apik, termasuk dengan 12 pos pemasukan bagi negara ini tidak mungkin bisa diimplementasikan dan dibangun di atas bangunan ideologi kapitalisme. Sebab asas dari kedua ideologi ini berbeda, kapitalisme berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari pengaturan kehidupan), sementara Islam kebalikannya. Berasaskan aqidah Islam, menjadikan syariat sebagai aturan negara itu sendiri. Dengan kesadaran asasinya bahwa segala sesuatu ini adalah makhluk Allah ﷻ dan tentu aturan terbaik pagi pengelolaannya adalah aturan Allah ﷻ.