Negeri-negeri Mati Rasa
“Dalam sistem sekularisme saat ini, secara psikologis umat Islam dipaksa untuk merasa berdosa apabila sampai terucap dari lisan mereka bahwa Islam memiliki konsep Daulah Islam. Memangnya apa salahnya? Bukankah Islam memang memiliki konsep Daulah?” Demikian disampaikan KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi, Mudir Ma’had HAMFARA Yogyakarta.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, UNICEF menyatakan sekitar 40 anak telah tewas di Gaza. Tragedi terjadi dalam aksi protes di sepanjang perbatasan Gaza.”Bukan hanya itu, hampir 3.000 anak lainnya juga dirawat di rumah sakit akibat cedera, banyak yang cacat seumur hidup,” kata UNICEF seperti dikutip dari AFP, Kamis (28/3).
Atas masalah itulah Direktur Timur Tengah UNICEF Geert Cappelaere meminta kepada baik Palestina dan Israel untuk segera menghentikan pertikaian mereka. Ia meminta Palestina dan Israel untuk memastikan bahwa anak-anak tidak menjadi sasaran konflik. Data UNICEF, selain mengakibatkan 40 anak tewas, tragedi tersebut juga telah membunuh 258 warga Palestina dan dua tentara Israel. (CNNIndonesia, 28/3/2019).
Sebagai informasi, ribuan orang Pelestina memang setahun belakangan ini banyak berkumpul untuk melakukan aksi protes terhadap pendudukan Israel atas wilayah mereka. Mereka menuntut Israel mencabut blokade selama satu dekade di Gaza yang telah melumpuhkan kehidupan rakyat Palestina.
Sementara Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengancam akan menyerang kelompok militan yang berada di Jalur Gaza, Palestina. Dia menyatakan sedang membuat perhitungan dan mengerahkan kekuatan militer lebih besar lagi untuk membalas serangan roket dari wilayah itu sejak awal pekan ini.
Juru bicara Angkatan Bersenjata Israel (IDF), Mika Lipshitz, menyatakan serangan roket dari Jalur Gaza hingga saat ini terhitung sudah 60 kali, seperti dilansir CNN, Kamis (28/3).Dikhawatirkan peningkatan konflik ini bisa memburuk dan menjurus ke arah perang besar. Situasi di Gaza saat ini sedang genting.
Ironisnya, negeri-negeri muslim di dekatnya diam. Mesir, Turki, Arab Saudi, dan beberapa negeri muslim lainnya diam. Begitupun Indonesia dengan jumlah muslim terbanyak. Tidak memberi bantuan berarti. Tidak mengirim tentara atau armada perang. Tidak menyerang balik pada barisan musuh. Hanya memberi kecaman seraya tetap menjalin kerja sama dengan musuh-musuh Islam. Sementara kaum muslim meregang nyawa tanpa daya.
UNICEF (United Nations Children’s Fund) juga diam. Padahal ia adalah sebuah organisasi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) yang memberikan bantuan kemanusiaan dan perkembangan kesejahteraan jangka panjang kepada anak-anak dan ibunya di negara-negara berkembang. Sekalipun menyaksikan dengan mata kepala sendiri terjadinya pembunuhan di Gaza, tetap tidak mampu berbuat banyak.
Mereka tidak memiliki tugas mengirim tentara melawan musuh Islam. Jika begitu, lalu siapa yang akan menolong anak-anak Palestina? Seluruh pengusung hak asasi manusia di dunia mengecam peperangan, tanpa melakukan tindakan apapun. Sedangkan kematian terus terjadi akibat serangan masif yang dilancarkan Yahudi Israel tanpa henti.
Allah berfirman bahwasanya membunuh seorang mukmin saja bisa menyebabkan masuk neraka jahannam selama-lamanya, apalagi membantai ribuan.
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisaa’: 93).
Negeri muslim tak bergeming melihat pembunuhan. Akibat sekat-sekat maya tak terlihat yang membatasi satu negara dengan yang lainnya. Racun pembunuh ukhuwah telah merasuki tubuh kaum muslim, hingga mereka tidak mampu memberikan pertolongan. Bahkan merasakan sakit yang sama seperti yang diderita umat di negeri represif pun sulit. Sekularisme merasuki diri pemimpin negeri-negeri muslim.
Syaikh Taqiyudin An Nabhani pernah menjelaskan dalam kitabnya Nidaa’ Haar beliau berkata bahwa, sesungguhnya umat Islam mengalami tragedi karena dua musibah. Pertama, diterapkan sistem kufur kepada mereka. Kedua, para penguasa mereka adalah antek-antek kafir penjajah. Inilah yang terjadi sekarang. Realisasi dari perjanjian keji musuh-musuh Islam. Allah berfiman,
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar (QS. Al Anfal:73).
Sykes Picot, perjanjian rahasia yang dilakukan antara Inggris dan Perancis tahun 1916, memecah kekuasaan Khilafah menjadi beberapa negara kecil yang lemah dan mudah dikuasai Barat. Setelah benteng terakhir, Daulah Utsmaniyyah hilang, maka umat ini menjadi asing akan “Khilafah”. Sekat-sekat nasionalisme membatasi ruang gerak umat untuk saling mengenali dan menyayangi.
Para antek kuffar Barat itu dengan begitu bebas menentukan garis perbatasan di dalam wilayah Khilafah (sehingga kini kita masih dapat saksikan peta Timur Tengah yang wujud, adalah kesan dari garis-garis perbatasan) yang ditetapkan oleh Sykes dan Picot). Sejalan dengan itu, diberlakukannya aturan kufur, membuat umat lupa akan jati dirinya sebagai bangsa dari negara adi kuasa.
Di saat para pemimpin di negeri ini galau menyuarakan Khilafah, sesungguhnya Barat telah lebih dulu tahu, bahkan meyakini tegaknya Khilafah. Semakin kuat gerakan persatuan umat, semakin membuat mereka takut. Berbagai upaya persatuan umat dilandasi ideologi Islam, akan dihancurkan. Sebaliknya, framing negatif dimunculkan. Mencegah agar umat tidak rindu Khilafah.
Inilah negara yang dirindukan umat. Khilafah adalah negeri yang akan melindungi izzul Islam wal muslimin. Dengan kekuatan tentaranya yang dahsyat, akan mengalahkan seluruh kerusakan di muka bumi. Negara inilah yang akan menjadi perisai umat. Negara yang tegak atas Alquran dan Al Hadits. Bukan negeri sekuler, negeri yang mati rasa terhadap penderitaan umat. Tsumma takuunu khilafatan ‘ala minhajin nubuwwah.
Lulu Nugroho
Muslimah Revowriter Cirebon