Ngawurisasi Survei dan Koruf yang Tak Dikehendaki
Ngawur luar biasa
Ngawurisasi lembaga survei sebelumnya juga terjadi pada Pilkada DKI 2017. Dua hari sebelum kampanye berakhir, rilis hasil survei SMRC menyebutkan elektabilitas Ahok-Djarot sebesar 46,9%. Untuk pasangan Anies Baswedan-Sandiaga, Saiful cs memberi angka 47,9%. Hanya selisih 1% dengan margin of error 4,7%.
Lewat angka-angka ini SMRC ingin mengatakan kemungkinan besar Ahok-Djarot bakal memenangi Pilkada. Apalagi, kita tahu waktu itu tren keduanya terus menanjak. Sebaliknya Anies-Sandi justru cenderung turun. Biasanya, menjelang hari H pencoblosan, pasangan yang tren elektabilitasnya melorot bakal kian terjun, begitu pun sebaliknya.
Charta Politica yang dikomandani Yunarto Wijaya malah lebih seru lagi. Saat hari terakhir kampanye Charta menyebut Ahok-Djarot akan unggul dengan angka 49%. Sedangkan Anies-Sandi 47,1%. Suara Anies-Sandi stagnan. Ahok-Djarot merangkak naik.
Akrobatik angka-angka survei tadi ternyata ngawur luar biasa. Hasilnya jungkir-balik. Anies-Sandi menang mutlak dengan 57,96%. Sedangkan juragan yang mereka gadang-gadang nyungsep di 42,04%. Selisih suaranya tidak tanggung-tanggung, 15,92%. Bahkan jika semua suara tidak menjawab 7,9%, dan margin of error yang 3,5% dihadiahkan ke Ahok-Djarot pun, hasilnya tetap jauh dari angka yang rilis.
Pada titik ini, fungsi lembaga survei dan hasil survei mereka sudah berubah. Sedikitnya bisa disebut ada empat tujuan rilis survei yang mereka lakukan. Pertama, menggiring opini publik bahwa pihak yang membayari mereka memang dikehendaki rakyat. Kedua, menyenangkan dan memberi keyakinan kepada si pembayar. Dengan demikian, fulus tetap dan terus mengalir ke pundi-pundi mereka dengan mulus. Ketiga, menjatuhkan mental kubu lawan. Keempat, menjustifikasi kecurangan yang (pasti?) bakal terjadi.
Kalau benar (dan memang begitu?) para lembaga itu merisilis hasil survei mereka dengan empat motivasi tersebut, tidak bisa tidak, sejatinya mereka adalah para pelacur. Bedanya, jika pelacur perempuan konsumennya adalah para lelaki hidung belang. Korbannya, keluarga (anak, istri) si lelaki nakal. Tapi yang jadi korban para pelacur intelektual ini adalah rakyat Indonesia yang berjumlah 260an juta jiwa. Jahat sekali! Dan, itu artinya, mereka adalah para penjahat!
Hari ini, Rabu (20/03), harian Kompas merilis hasil surveinya. Koran ini menyebut elektabilitas pasangan Joko-Ma’ruf (Koruf) sebesar 49,2%, Prabowo-Sandi 37,4 dan 13,4% menyatakan masih rahasia. Dibandingkan enam bulan silam (Oktober 2018), posisi Koruf masih di angka 52,6%, Prabowo-Sandi 32,7%, dan rahasia 14,7%.
Pertanyaannya, apakah hasil survei Kompas masuk dalam jajaran para pelacur jahat tadi? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Maklum, harian ini kadung dianggap punya reputasi dan kredibilitas. Maksud saya, sebelum Kompas menjadi bagian dari gerombolan media yang tidak menurunkan berita peristiwa superbesar, Reuni Mujahid 212 Desember silam. Pasca peristiwa Reuni Mujahid 212, saya menganggap reputasi dan kredibilitas harian yang sering diplesetkan sebagai Komando Pastur ini sudah masuk ke comberan.