Nikah Beda Agama Terulang, HNW Minta Hakim dengarkan MUI dan Ikuti Putusan MK
“Jadi, tidak menghasilkan penetapan yang serampangan, dan bertentangan dengan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia sehingga menimbulkan kerancuan, dan ketidaksesuaian dengan keputusan MK serta ketentuan UUD,” tuturnya.
HNW menjelaskan beberapa poin penting di Risalah Pembahasan RUU Adminduk tersebut, antara lain; pertama, bahwa UU Adminduk itu hanya bersifat pencatatan perkawinan, bukan pengesahan perkawinan.
Oleh karenanya, ketika ada pemberitaan bahwa hakim telah mengesahkan perkawinan beda agama di sejumlah media, maka telah terjadi kerancuan di masyarakat, dan ketidaksesuaian dengan norma hukum yg lain. “Yang mungkin bisa itu hanyalah penetapan pencatatan perkawinan, bukan pengesahan. Karena sah atau tidaknya perkawinan ada di UU Perkawinan,” ujarnya.
Kedua, lanjut HNW, Risalah Pembahasan RUU Adminduk secara jelas dan tegas menyatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus tetap menjadi rujukan utama terkait dengan perkawinan, dimana salah satu ketentuannya sudah tegas bahwa ‘Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.”
“Lalu, bagaimana para hakim itu bisa memahami hukum masing-masing agama para pasangan perkawinan, apabila mereka tidak mendengarkan pendapat pemuka agama atau lembaga kegamaan yang memiliki otoritas seperti MUI. Dan MUI telah berulang kali tegas menyatakan bahwa Islam tidak membolehkan perkawinan beda agama, sehingga perkawinan beda agama adalah tidak sah,” ujarnya.
HNW mengatakan sejak awal memang ketentuan Pasal 35 huruf a UU Adminduk memang sudah diwanti-wanti oleh salah satu pembahasnya, yakni Anggota FPKS DPR RI yang sekarang sudah wafat; Suryama Majana Sastra, untuk tidak menabrak aturan dalam UU Perkawinan. Di dalam Risalah Pembahasan RUU Adminduk, Suryama tercatat menyampaikan:
‘Kalau kita tidak hati-hati di sini misalnya, ini seperti yang tadi saya sudah ungkapkan, pengadilan bisa menjadi satu lembaga yang mensahkan atau melegitimasi, dan ini bisa jadi nanti kontradiksi dengan apa yang sudah diatur, oleh UU Perkawinan. Saya kira marilah kita menelaah masalah ini secara tenang, substansial, dan melihat relasinya dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan perkawinan.’
HNW mengatakan apabila para hakim membaca dan mentaati RIsalah Pembahasan RUU Adminduk itu, maka akan ditemukan spirit yang sangat kuat bahwa ketentuan sah atau tidaknya perkawinan merujuk ke UU Perkawinan.
“Oleh karenanya para hakim seharusnya tidak hanya melihat penjelasan secara tekstual dan sepotong, tetapi juga merujuk pada penafsiran originial intent, agar memahami teks UU secara utuh. Dan terutama para Hakim juga harusnya merujuk kepada ketentuan UUDNRI 1945 dan Putusan MK yang sudah menolak judicial review untuk membolehkan perkawinan beda Agama. Dengan demikian para Hakim menjadi contoh terbaik sikap taat hukum dan konstitusi, dan menjadi contoh dan pembelajaran yang baik bagi Rakyat, agar tegak keadilan dan kebenaran di negara hukum Indonesia,” pungkasnya.
red: adhila