No Dinasty, No Oligarki
Indonesia itu ketika di era kolonialisasi mengalami penjajahan dua lapis: Lapisan pertama, dijajah oleh Belanda sendiri. Lapisan kedua, dijajah oleh orang-orang China yang mendompleng mendapatkan privilis dari pemerintahan kolonial Belanda.
Mereka kaum China disebut warga negara kelas dua itu merupakan pedagang memasok barang kebutuhan Belanda.
Tetapi, juga sebagai pialang membantu menjualkan barang rampasan dan pampasan berupa hasil bumi dari tanah pribumi atau senjata-amunisi ke wilayah lain di kerajaan-kerajaan regional yang dipolitisasi dengan tricky devide at impera saling berperang di sekitaran Indochina.
Tetapi, mereka kaum toke China itu juga sebagian berkonspirasi politik menjadi centeng, jawara bahkan mata-mata Belanda bagi pejuang-pejuang negara-negara pribumi yang melawan berjuang mencapai pembebasan.
Dan ketika Belanda pergi dengan ngos-ngosan sebagai bangsa kalah perang , Indonesia merdeka berkorban jutaan jiwa, mereka yang selalu berkepentingan dengan berdagang, kaum Chinalah yang paling sangat beruntung.
Maka, nyaris dari zaman era Orde Baru, pertanda dimulainya orde pembangunan hingga sekarang, penguasaan ekonomi oleh komunitas kaum China ini semakin sangat luar biasa. Sudah melampau 80% kue ekonomi dinikmatinya.
Berefek buruk, betapa telah menimbulkan jurang disparitas kemiskinan dan pemiskinan yang sangat dalam bagi kaum pribumi asli Indonesia sendiri.
Faktanya, ada sembilan naga oligarki. Tetapi, ketika laporan tahun majalah Forbes diumumkan tentang orang-orang terkaya Indonesia, ternyata ke sembilan naga itu kepalanya.
Lima puluh dan atau seratus bahkan ribuan naga lain, adalah yang mengoler-oler sangat panjang itu tubuh dan buntutnya. Hanya satu dua orang nyempil pribumi asli.
Sementara, jutaan rakyat menderita kemiskinan itu diacak-acak oleh banyak cakar dan semburan api naga yang tersisa hanya tinggal mengais-mengais sampah ekonominya.
Dan situasi ini semakin diperparah oleh rezim berkuasa Presiden Joko Widodo selama satu dekade terakhir, adalah satu-satunya Presiden paling konspiratif dan kolutif berpihak dan berkepentingan kepada mereka yang kini naga-naga itu telah menjadi kekuatan korporasi konglomerasi oligarki.
Begitu sangat konspiratif dan kolutifnya—ada jejak historisnya yang sangat menyesakkan dada bahkan sangat memalukan bagi bangsa ini—fee dari hasil penjualan tanah reklamasi di Pantai Utara Teluk Jakarta yang telah dibeli oleh kepala naga Aguan itu dijadikan kongkow-kongkow PDIP beserta koalisi partai dan elit politik lainnya ongkos politik mempromosikan dan menjadikan Jokowi Presiden 2014-2019.