Normalisasi Hubungan dengan Israel: Akankah Palestina Digadaikan?

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang membuka peluang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel kembali membuat umat Islam terhenyak. Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika mengadakan konferensi pers dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Istana Merdeka. Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia siap mengakui Israel secara resmi asal Israel mengakui kemerdekaan Palestina.
Sekilas, pernyataan ini terdengar sebagai bentuk diplomasi strategis. Namun, jika dicermati lebih dalam, inilah sebenarnya titik rawan: apakah pengakuan terhadap Palestina harus dibayar dengan normalisasi terhadap penjajahnya?
Siapa Israel?
Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa Israel adalah entitas penjajah yang telah merampas tanah Palestina sejak 1948, melakukan pembersihan etnis, menghancurkan rumah-rumah warga, menodai Masjid Al-Aqsa, dan membantai ribuan jiwa termasuk perempuan dan anak-anak. Bahkan sejak Oktober 2023, dunia menyaksikan genosida terang-terangan di Gaza, yang terus berlangsung hingga hari ini.
Dalam kondisi seperti itu, bagaimana mungkin negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia justru membuka peluang untuk menjalin hubungan resmi dengan penjajah tersebut?
Apakah kita lupa bahwa bangsa Palestina sendiri—baik yang berada di Gaza maupun Tepi Barat—menolak normalisasi ini? Apakah kita tega mengkhianati jutaan saudara kita yang telah berkorban demi tanah suci itu?
Ilusi Dua Negara
Seringkali normalisasi dibungkus dengan narasi “solusi dua negara”. Padahal, sejak awal, formula ini hanyalah fatamorgana politik. Israel tidak pernah sungguh-sungguh menginginkan Palestina merdeka. Mereka terus memperluas pemukiman ilegal, menghancurkan rumah warga Palestina, dan menolak kembali pengungsi.
Fakta di lapangan menunjukkan: satu-satunya negara yang terus menegaskan eksistensinya adalah Israel. Sementara Palestina terus digerus, dibatasi, bahkan dihancurkan secara sistematis.
Normalisasi: Jalan Pengkhianatan
Sejumlah rezim Arab sudah lebih dulu jatuh dalam perangkap normalisasi: UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Semua menjanjikan perdamaian, tetapi yang terjadi justru eskalasi kekerasan terhadap rakyat Palestina.
Kini, ketika Indonesia bahkan baru menyatakan wacana normalisasi saja, efeknya sudah terlihat. Muncul kecaman luas dari publik, aktivis kemanusiaan, bahkan tokoh-tokoh agama. Karena publik tahu, membuka ruang bagi Israel berarti membuka luka baru bagi Palestina.
Lebih tragis lagi, normalisasi ini bukan hanya pengkhianatan politik, tapi juga pengkhianatan sejarah dan identitas umat.
Solusi Sejati: Kekuatan Umat
Palestina tidak akan pernah merdeka lewat perundingan yang berat sebelah. Dunia sudah menyaksikan kegagalan berbagai resolusi PBB, mediasi Barat, hingga perjanjian Oslo yang hanya memperdalam penjajahan.
Justru sejarah mencatat, tanah suci itu pernah benar-benar dibebaskan saat umat Islam bersatu dalam kepemimpinan Islam. Dari tangan Khalifah Umar bin Khathab yang membuka Baitul Maqdis tanpa pertumpahan darah, hingga Sultan Salahuddin Al-Ayyubi yang membebaskannya dari cengkeraman Tentara Salib.