Obat-obatan Sedang Diciptakan di Gaza
Sebagai mahasiswa kedokteran di Gaza, kami diajarkan bagaimana menyelamatkan nyawa tanpa apa-apa dan bagaimana mengambil keputusan yang mustahil.

Adegan seperti ini telah berulang berkali-kali di seluruh Gaza, bahkan anak-anak kecil pun harus mengalami amputasi tanpa anestesi. Dan kami, para mahasiswa kedokteran, belajar bahwa ini bisa menjadi kenyataan kami; bahwa kami juga mungkin harus mengoperasi kerabat atau anak sambil menyaksikan dan mendengar rasa sakit mereka yang tak tertahankan.
Namun mungkin pelajaran paling berat yang kami pelajari adalah kapan tidak mengobati – ketika luka tak mungkin diselamatkan dan sumber daya harus digunakan untuk mereka yang masih punya peluang bertahan hidup. Di negara lain, ini adalah diskusi etika teoritis. Di sini, ini adalah keputusan nyata yang mungkin harus segera kami ambil sendiri.
Dr Khaled berkata: “Di sekolah kedokteran, mereka mengajarkanmu menyelamatkan semua orang. Di Gaza, kau belajar bahwa kau tidak bisa – dan kau harus hidup dengan itu.”
Inilah arti menjadi dokter di Gaza hari ini: memikul beban tak manusiawi karena tahu kau tidak bisa menyelamatkan semua orang dan tetap harus terus berjalan; mengembangkan daya tahan emosional luar biasa untuk menanggung kehilangan demi kehilangan tanpa hancur dan tanpa kehilangan kemanusiaan sendiri.
Orang-orang ini terus merawat dan mengajar, bahkan ketika mereka kelelahan, bahkan ketika mereka kelaparan.
Suatu hari, di tengah kuliah trauma, instruktur kami, Dr Ahmad, berhenti di tengah kalimat, bersandar di meja, lalu duduk. Ia berbisik, “Aku hanya butuh sebentar. Gulaku rendah.”
Kami semua tahu ia belum makan sejak hari sebelumnya. Perang tidak hanya menghabiskan obat-obatan – ia juga menggerogoti tubuh dan pikiran mereka yang mencoba menyembuhkan orang lain. Dan kami, para mahasiswa, belajar secara langsung bahwa kedokteran di sini bukan hanya soal pengetahuan dan keterampilan. Tetapi tentang bertahan hidup cukup lama untuk menggunakannya.
Menjadi dokter di Gaza berarti menciptakan ulang ilmu kedokteran setiap hari dengan apa yang tersedia, merawat tanpa alat, melakukan ‘resusitasi’ (tindakan medis darurat untuk mengembalikan fungsi pernapasan dan/atau sirkulasi darah pada seseorang yang mengalami henti napas atau henti jantung) tanpa peralatan, dan membalut dengan tubuhmu sendiri.
Ini bukan hanya krisis sumber daya. Ini adalah ujian moral.
Dan dalam ujian itu, luka-luka menembus dalam – melalui daging, melalui martabat, hingga ke harapan itu sendiri. []
Sumber: Al Jazeera