Omnibus Law, Politik Hukum Indonesia, dan Keadilan Sosial
Dalam Prolegnas 2020 yang telah disepakati oleh Menkumham, Baleg DPR dan Panitia Perancang UU DPD RI tanggal 16 Januari 2016, memuat empat RUU yang akan dibahas dengan metode Omnibus Law antara lain RUU Kefarmasian, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Ibu Kota Negara, Daftar Prolegnas ini tentunya akan tetap dilanjutkan menjadi Prolegnas 2020.
Metode Oamnibus law sendiri telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Super Prioritas 2020. Presiden berharap DPR dapat menyelesaikan UU Omnibus Law dalam waktu 100 hari.
COMMON LAW VS CIVIL LAW
Omnibus Law ini adalah metode pembentukan UU yang biasa dilakukan di negara dengan sistem Common Law.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional pernah melontarkan tentang konsep Omnibus Law atau juga dikenal omnibus bill. Menteri ATR/Kepala BPN mengatakan negara dengan sistem Common Law seperti Amerika Serikat lazim menggunakannya.
Selain itu, tercatat beberapa negara yang juga menggunakan metode Omnibus Law ini adalah Irlandia, Kanada, Turki dan Selandia Baru.
Jadi memang secara faktual, negara negara dengan sistem dan tradisi hukum Common Law adalah pengguna utama metode ini.
Selain karena memang dalam tradisi Common Law sistem perundang-undangannya berserakan dan jumlahnya banyak sekali. Dalam sistem Common Law juga terbiasa, setiap ada kebutuhan atau persoalan baru maka dibuat act atau UU yang diharapkan bisa menampung persoalan tersebut.
Sehingga pada akhirnya akibat terlalu banyak UU yang bersifat sektoral, karena kerangka berpikirnya pragmatisme dan sektoral, maka pada akhirnya diantara UU tersebut terjadi saling tabrak kewenangan antara institusi negara dan tumpang tindih substansi materi dalam berbagai UU yang ada.
Untuk itulah, pada satu titik tertentu karena akibat kesemrawutan produk UU ini, akhirnya dibuat satu UU untuk mengatasi dan mem-by pass berbagai tumpang tindih dan kesemrawutan yang ada. Maka lahirlah metode pembuatan UU yang diharapkan mampu mem-by pass semua produk UU yang sudah ada dengan hanya satu UU saja, yaitu baik dengan amandemen pasal tertentu saja, ataupun pembatalan seluruh UU yang ada.
Di negara negara Common Law yang menganut tradisi hukum yang kuat, dalam arti negara Common Law dengan tingkat ekonomi yang sudah maju, tradisi banyaknya produk hukum ini mengharuskan adanya auditor hukum, yang berfungsi untuk menyelaraskan dan membimbing pengguna UU untuk merangkum semua produk UU terkait dalam melakukan praktik bisnisnya. Pada titik ini, profesi dan peran konsultan hukum akan menjadi berkembang.
Di negara berkembang, kesemrawutan substansi UU dan kewenangan ini, pada akhirnya membuat bingung aparat pelaksana dan terjadi saling tarik menarik ego sektoral antara instansi pemerintah yang pada gilirannya membuat pelaku usaha kebingungan dalam mengurus perizinan usaha mereka sehingga ditengah kebingungan tersebut, jalan pintasnya adalah mengeluarkan biaya ekstra untuk mempermudah proses perizinan. Maka lahirlah perilaku korupsi dan suap menyuap untuk urusan perizinan.
Sementara itu, Sistem Civil Law mempunyai karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada yurispruden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang terutama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial.