Optimisme Anies Menang di Satu Putaran
Masih menggunakan cara lama dan konvensional tetap bertitik tolak dengan upaya pengkondisian terlebih dahulu. Selalu disediakan biaya logistik, transportasi dan konsumsi dari panitia dan atau partai penyelenggara yang punya hajat.
Ketika acara penggalangan acara akbar oleh Musra, Relawan Indonesia Bersatu di GBK contohnya tempo lalu mengerahkan dan menggalang massa hingga ratusan ribu orang telah menghabiskan dana ratusan milyar. Meski ketersediaan dana bagi mereka itu selalu ada, jika puluhan kali berulang seperti itu ya babak belur juga.
Dikarenakan hasil faktualisasinya sangat mengecewakan di lapangan selalu diembeli-embeli kemunculan tanpa pesan bermakna, yang terkesan hanya tertinggal citra buruk.
Ternyata, massa yang hadir sebagian besar adalah massa pengkondisian dadakan, bukan geniun dan asli hasil kaderisasi massa Musra dan atau Relawan Indonesia Bersatu, itu hanya massa jadi-jadian, alias massa bayaran.
Bahkan, dikarenakan pengkondisiannya kurang baik, sebagian massa pengikut mengakui tidak mengerti acara apa, motivasinya sekadar hanya mendapatkan amplop, seragam dan konsumsi. Tak efektif dan menjadi kecenderungan pemalsuan dan penipuan penggalangan kampanye kepada publik.
Terlebih, di acara itu selalu menghadirkan Jokowi jelas melekat dari jabatannya sebagai Presiden, karena sepertinya untuk tujuan utama pengkondisian menyebut ciri dan tanda bacalon Presiden, masih melekat di memori ingatan apa yang diutarakan Jokowi dalam perhelatan itu “dahi yang selalu berkerut dan rambut yang beruban putih”.
Dan pada akhirnya acara pengkondisian itu diprotes publik, akademisi dan aposisi dikarenakan seluruhnya melanggar aturan UU Pemilu dan konstitusi: itu sengaja bentuk cawe-cawe Presiden dan atau Ganjar dan Prabowo yang dicawe-cawe Presiden tidak melepaskan jabatannya sebagai Gubernur dan Menterinya terlebih dahulu, sebagai menodai kedisiplinan dan etika selaku aparat sipil penyelenggara pemerintahan negara juga.
Hingga kini pun mereka masih saling berebut pengaruh Jokowi, akibatnya terkesan ada yang pro-kontra. Mengganggu proses soliditas koalisi partai masing-masing pendukung Jokowi. Biarkan mereka terus berantem sendiri. Tapi tak pernah berhenti menjegal Anies.
Makanya, kini mereka sudah jarang melakukan acara off line panggung di stadion GBK seperti itu, jelas menguras kantongnya karena berbiaya sangat mahal. Begitupun jika tidak dikondisikan dalam skala kecil pun yang terjadi selalu sepi pengunjung.
Makanya, sekarang mereka lebih sering dan lebih banyak menggunakan jasa konsultan politik berbayar lembaga survey elektabilitas. Yang publik pun sudah jenuh dan bosan serta mengerti dan memahami ketidakakuratan kridibilitas dan akuntabilitasnya.
Metodenya selalu sama seperti hanya copy paste. Hasilnya, di antara tiga bacalon itu, kalau tidak Prabowo di nomor 1, Ganjar yang di nomor 2, bergantian sebaliknya dan seterusnya. Anies selalu di posisi buncit, alias nomor 3.
Itu pun sama persis tujuannya seperti diskenariokan pengkondisiannya membentuk persepsi publik bahwa Anies selalu jeblok, terbawah dan kalah. Padahal, semua itu sudah jelas setting-an. Seolah berargumen mengacu pada cara dan data ilmiah, padahal survei itu hanya rekayasa kecurangan, agitatif dan membodohi publik.