Overdosis Penanganan Radikalisme
Sejak awal kepemimpinan periode kedua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal November 2019 menegaskan kembali komitmennya untuk menumpas paham radikal sampai ke akar-akarnya. Bahkan ia sempat mengusulkan penggantian istilah radikal dengan istilah yang lebih serem, yaitu “manipulator agama”. Walau kemudian tidak ada kelanjutannya mungkin karena waktu itu banyak yang menentang dan mempertentangkannya dengan manipulator Pancasila.
Komitmen presiden itu ditindaklanjuti para menterinya dengan gebrakan penandatanganan Surat Keputusan Bersama 11 Kementerian/Lembaga tentang penanggulangan radikalisme.
Pada 2020 ini, Sekolah Tinggi Administrasi Negara/STAN dimoratorium. Konon ini juga diduga kuat karena ada laporan para alumninya yang menjadi ASN terpapar radikalisme.
Rabu, 2 September lalu Kemenpan-RB meluncurkan aplikasi “ASN No Radikal.” Sebagai media pengawasan, pencegahan, dan pelaporan bagi ASN dari terpapar radikalisme.
Dalam Webinar peluncuran aplikasi “ASN No Radikal” itu, Menteri Agama juga memberi sambutan yang menegaskan perlunya kehati-hatian merekrut ASN baru agar jangan tersusupi orang yang radikal dan pro khilafah. Selang beberapa hari berikutnya media diributkan lagi dengan statement Menag yang akan melakukan sertifikasi mubalig dan dai guna mencegah para mubaligh radikal.
Yang lebih heboh lagi adalah pernyataannya bahwa paham radikal itu terkadang dibawa oleh anak muda yang “good looking”, hafizh quran, memjadi imam, lalu mempengaruhi para jamaahnya. Tentu saja rentetan peristiwa dan berita itu membuat banyak para tokoh dan pemimpin Islam tersinggung dan marah. Bahkan reaksi dan kecaman keras dilontarkan oleh Sekjen MUI, Anwar Abbas.
Pada hari yang sama dengan peluncuran aplikasi “ASN No Radikal”, Ketua DPR Puan Muharani menyinggung perasaan orang Minang dengan ungkapan kurang lebih “semoga masyarakat Sumatera Barat menjadi masyarakat yang mendukung negara Pancasila”. Ungkapan itu juga tidak mudah untuk lepas dari framing pemberantasan radikalisme.
Jelas sudah bahwa masyarakat yang tidak mendukung ideologi Pancasila ala PDIP itulah yang distigma kaum radikal itu.
Bahkan dengan berbagai rentetan peristiwa yang terkait dengan penanggulangan radikalisme, makin banyak masyarakat yang menebak-nebak apa hidden agenda dari program deradikalisasi yang overdosis itu?