Pajak dan Gaya Hidup Pejabat yang Merusak Ekonomi Negara

Kini lagi ramai di media, sikap arogan Bupati Pati Sudewo yang menaikkan pajak Pajak Bumi dan Bangunan hingga 250 persen. Karena protes puluhan ribu masyarakatnya, akhirnya ia membatalkan keputusannya itu. Kenaikan PBB yang ugal-ugalan ternyata juga terjadi di Jombang dan Cirebon. Masyarakat di sana kini juga ramai-ramai memprotesnya.
Kebijakan kepala daerah di berbagai wilayah menaikkan pajak itu, sebenarnya terinspirasi oleh kebijakan pemerintah pusat. Presiden Indonesia dari sejak Soekarno hingga Prabowo, terus menerus menggunakan pajak sebagai instrumen utama untuk menghimpun pendapatan negara.
Memang pajak adalah instrumen penting pendapatan negara dalam sistem ekonomi Barat. Adam Smith menyatakan pajak adalah sumber dana untuk kegiatan masyarakat seperti infrastruktur dan layanan publik. Ekonom Barat terkenal, John Stuart Mill menyatakan pajak sebagai sarana distribusi kekayaan dan mengurangi ketimpangan.
Tokoh ekonomi Barat lainnya, David Ricardo menyatakan pajak bisa mempengaruhi alokasi sumber daya, misalnya pajak pada barang tertentu bisa mengarahkan penggunaan yang lebih efisien. Joseph Stiglitz menyatakan pajak membiayai layanan publik penting seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Beda dengan Barat, ekonomi Islam tidak mengutamakan pajak. Pajak dibuat serendah mungkin agar tidak membebani rakyat. Ahli sosiologi Islam, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa pajak yang rendah menyebabkan ekonomi negara itu akan tumbuh dengan baik.
Dalam siklus peradaban menurut Ibnu Khaldun, kenaikan pajak yang berlebihan adalah salah satu tanda “fase kemunduran” sebuah negara. Ketika beban pajak sudah melampaui kemampuan rakyat, negara menuju kehancuran.
Ekonomi Islam lebih menekankan zakat, sedekah dan wakaf untuk pendapatan negara. Khalifah Umar bin Khattab yang terkenal dengan kehebatan pemerintahannya, menerapkan kebijakan zakat untuk rakyatnya. Pajak hanya untuk tanah, barang impor/ekspor, dan jizyah (‘pajak’ untuk non Muslim). Pajak pun disesuaikan dengan kemampuan rakyat dalam membayarnya.
Berikut tabel perbandingan zakat dan pajak menurut prinsip kebijakan Umar bin Khattab:
Aspek | Zakat (Bagi Muslim) | Pajak/Kharaj/Jizyah/Ushr (Penduduk Non-Muslim & Perdagangan) |
Dasar Hukum | Rukun Islam, wajib berdasar Al-Qur’an & Sunnah (QS. At-Taubah: 60) | Kebijakan negara berdasar ijtihad khalifah, adat setempat, dan kesepakatan damai |
Pihak yang Membayar | Hanya Muslim yang mampu dan memenuhi nisab | Non-Muslim (jizyah, kharaj), pedagang asing (ushr) |
Objek Pungutan | Harta tertentu: emas/perak, hasil pertanian, peternakan, perdagangan | Tanah (kharaj), individu dewasa laki-laki non-Muslim (jizyah), barang impor/ekspor (ushr) |
Tujuan Penggunaan | Disalurkan ke 8 golongan asnaf (fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, fi sabilillah, ibnu sabil) | Pembiayaan negara: pertahanan, infrastruktur, administrasi pemerintahan, kemaslahatan umum |
Prinsip Penetapan Tarif | Tetap sesuai syariat (2,5% emas/perak, 5% atau 10% hasil pertanian, dsb.) | Fleksibel, disesuaikan kemampuan bayar dan kondisi ekonomi rakyat |
Keringanan | Tidak wajib jika belum mencapai nisab | Bisa dibebaskan/diringankan saat paceklik, kemiskinan, atau ketidakmampuan |
Pengelolaan | Baitul Mal di bawah pengawasan ketat khalifah | Sama, Baitul Mal dengan akuntabilitas tinggi |
Larangan | Tidak boleh diubah tarif atau diperluas objeknya di luar ketentuan syariah | Tidak boleh memungut pajak ganda atau berlebihan hingga memberatkan rakyat |
Begitu pula Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ia lebih mengutamakan pendapatan negara dari zakat daripada pajak. Pajak tidak dibebankan kepada orang miskin. Dengan kebijakan itu maka negara mengalami kemakmuran yang luar biasa. Sehingga di masanya, rakyat tidak ada yang mau menerima zakat saat itu. Sehingga zakat akhirnya disalurkan ke luar negeri (Afrika).
Secara psikologis memang zakat membuat kaum Muslim semangat dan jujur mengeluarkannya. Sedangkan pajak cenderung membuat hati dongkol dan banyak pelaku yang tidak jujur mengeluarkan pajaknya. Apalagi melihat pegawai pajak atau pejabat yang terkait dengan keuangan itu hidupnya penuh dengan kemewahan.
Dalam sejarah Islam, terdapat kisah-kisah bagaimana para ulama menasihati khalifah atau pemimpin agar berhati-hati dalam mengelola keuangan negara.