Pajak dan Zakat dalam Sistem Ekonomi Islam

Sedangkan pajak dalam sistem sekuler kapitalisme tidak mengenal istilah nishab dan haul, semua rakyat wajib bayar pajak, baik kaya maupun miskin, hingga jika tidak taat pajak, urusannya akan sulit.
Demikianlah, betapa sistem sekuler kapitalisme sangat tidak rasional hingga sampai pada mewajibkan kalangan yang tidak mampu untuk tetap membayar pajak, dan memberikan sanksi akan mempersulit urusan siapapun yang tidak taat pajak, baik dari kalangan kaya maupun miskin. Karena itu menjadi hal yang sangat aneh jika kita masih mempertahankan pajak ala sistem sekuler kapitalisme.
Telah nampak nyata bahwa penerimaan pajak tidak akan menutupi kebutuhan belanja negara, ditambah banyaknya kasus korupsi, dan belanja negara yang dinilai mubazir semisal besarnya belanja negara untuk gaji dan tunjangan pada para pejabat negeri yang nilainya sangat fantastik. Padahal uang negara diperoleh dengan pajak dan utang luar negeri yang sangat ribawi.
Karenanya, menjadi kebutuhan dan kewajiban, apalagi jika ia seorang muslim. Untuk meninggalkan dan mengganti sistem sekuler kapitalisme, dengan sistem yang lebih manusiawi sesuai fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan jiwa yaitu sistem Islam kaffah, termasuk dalam mengatur masalah pendapatan dan belanja negara, kita butuh pada aturan Islam kaffah yang diterapkan oleh negara.
Dalam Islam, pendapatan negara berasal dari banyak pintu. Antara lain dari harta milik negara, harta umum milik rakyat (masyarakat), dan harta individu rakyat.
Harta milik negara berasal dari pos fai’, kharaj, ghanimah, khumus. Harta ini digunakan untuk kepentingan operasional kenegaraan termasuk untuk membayar gaji para pegawai negara, dan membayar tunjangan untuk para pejabat negara, sesuai kebutuhan hidupnya, bukan gaya hidup.
Adapun harta milik umum, diperoleh dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang hasilnya akan digunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat dan akan diberikan dalam bentuk subsidi atau zat hasil pengelolaan langsung sumber daya alamnya. Digunakan untuk membangun fasilitas yang dibutuhkan oleh rakyat, berupa kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Adapun harta individu rakyat adalah harta dalam bentuk penunaian kewajiban zakat, jika telah sampai pada nishob dan haulnya. Berupa zakat pertanian, zakat perdagangan, zakat harta, dan semua jenis zakat yang telah ditetapkan syariat, termasuk besaran yang harus dikeluarkan.
Jika penerimaan negara dari pos harta milik negara, harta milik umum dan harta milik individu yang telah ditetapkan oleh syariat, tidak mencukupi kebutuhan belanja negara dalam mengurusi urusan rakyatnya. Maka negara menetapkan pajak yang dipungut dari kalangan orang-orang kaya saja yang nilainya hanya sebesar 2,5% dari harta simpanan orang kaya tersebut. Dan pungutan pajak dihentikan manakala negara telah memiliki harta yang cukup dalam mengurus urusan seluruh rakyatnya.
Demikianlah, terdapat perbedaan yang sangat besar tentang konsep pajak dan zakat dalam sistem sekuler kapitalisme dan sistem ekonomi Islam. Karenanya, tidak ada jalan lain untuk menutupi defisit anggaran negara untuk mendongkrak pendapatan negara, kecuali dengan kembali pada Islam. Sebab hanya sistem Islam kaffah saja yang memiliki solusi yang sempurna dan paripurna atas seluruh masalah manusia termasuk dalam mengatasi masalah defisit anggaran belanja negara. Wallahua’lam.
Ayu Mela Yulianti, S.Pt., Pegiat Literasi dan Pemerhati Kebijakan Publik.