Pajak; Vampire dalam Sistem Ekonomi Neoliberal
Ibarat vampire, pajak merupakan darah bagi sistem ekonomi neoliberal. Dalam sistem ini semua hal dalam kehidupan akan dikenai pajak. Baik itu kendaraan, bangunan, tanah, transit, bahkan kini akan diberlakukan pajak bagi para YouTuber maupun selebgram. Mengingat omzet penghasilan YouTuber maupun selegram saat ini sudah mencapai jutaan, puluhan juta, bahkan hingga milliaran rupiah. Ini dikarenakan banyaknya permintaan di tengah masyarakat yang mengunakan jasa YouTuber maupun selegram, karena dianggap mudah dan tak perlu repot. Sehingga dengan melihat realitas tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun angkat bicara. Menurutnya, penghasilan besar yang diperoleh para YouTuber maupun selebgram akan dikenai pajak. Dan ini akan diberlakukan pada April 2019 nanti.
Hal tersebut berdasarkan dengan Peraturan Menkeu 2110/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. “Kalau mereka mendapatkan pendapatan di bawah Rp54 juta, itu tidak mendapatkan pajak. Tidak masuk di dalam pendapatan tidak kena pajajk” kata Sri Mulyani.
Tetapi, bagi selegram dan YouTuber yang sudah terkenal dan mendapatkan penghasilan sampai Rp500 juta, maka mereka akan dikenakan pajak, Suara.com, (20/01/2019).
Begitupun menurut Managing Partner dari Danny Darussalam Tax Center hal ini dilakukan guna untuk memberikan keadilan maupun kesetaraan antara pedagang offline dengan pedagang online. Karena menurutnya tidak ada perbedaannya antara pedagang offline maupun online, mereka sama-sama pengusaha, hanya perbedaannya adalah cara metode berdagang mereka adalah dengan online, oleh karena itu sudah sepantasnya bisnis yang dijalankan melalui platform e-dagang dikenakan pajak sebagaimana ketentuan perpajakan secara umumnya, kompasiana.com, (15/1/2019).
Inilah salah satu fakta dari kebobrokan paradigma sistem ekonomi neoliberal yang menjadikan pajak sebagai penopang pendapatan negara. Negara menyasar seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali, dan mewajibkan pajak atas segala transaksi. Seperti pajak bangunan, tanah, motor, mobil dan lain sebagainya tanpa pandang bulu, baik kaya maupun miskin akan menangung pajak tersebut. Hal ini jelas akan merugikan bahkan mendzalimi semua masyarakat. Karena masyarakat akan dibayang-banyangi dengan kewajiban pajak tersebut, dan apabila tidak membayar pajak, maka mereka akan mendapatkan sanksi yang telah ditetapkan. Padahal memunggut pajak tanpa alasan yang syar’i sama halnya dengan tindakan memungut cukai (al-maksu), yang telah jelas dilarang oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai”. (HR. Ahmad, ad-Darami dan Abu Ubaid).
Bila dicermati sejatinya negara Indonesia ini merupakan negara kaya akan sumber daya alam (SDA), baik itu nikel, minyak, aspal, baru bara, dan kekayaan alam lainnya. Yang bila dikelola dengan baik, maka hasilnya akan mampu mensejahterakan rakyatnya tanpa mengalakkan pajak bagi rakyaknya.
Namun apalah daya, inilah fakta bahwa negara ini telah dikuasai oleh sistem ekonomi neoliberal yang meniscayakan pengelolaan SDA kepada swasta, sehingga hasilnya akan dinikmati oleh para pemilik modal ataupun segelincir orang. Bahkan tak sedikit juga tambang-tambang yang sangat merugikan rakyat, karena mereka tidak memikirkan nasib rakyat, bahkan tega mengorbankan rakyat demi tercapaianya kepentingan mereka (para kapital).
Dalam sistem inipun negara tidak mempunyai peranan penting atau terbatas dalam pengelolaan dan pengawasan perekonomian. Sistem ini juga sangat menganut sistem ekonomi pasar, dimana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh swasta atau pemilik modal dengan tujuan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dalam ekonomi pasar.