Pajak; Vampire dalam Sistem Ekonomi Neoliberal
Hal ini jelas berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang berasas kepada syariat Allah dengan tujuan kesejahteraan rakyat dan pemenuhan hajat hidup orang banyak. Sistem ekonomi Islam yang tegak diatas paradigma lurus, akan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam (SDA) dengan baik dan seoptimal mungkin demi kesejahteraan rakyatnya. Karena dalam Islam SDA merupakan harta milik umum (rakyat) yang tidak boleh diperjual belikan apalagi dikelola oleh Asing (swasta), sehingga hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat untuk pemenuhan kebutuhan seluruh rakyatnya.
Begitupun dengan pemungutan pajak, dalam sistem ekonomi Islam pajak pada dasarnya merupakan harta yang diwajibkan Allah swt kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, namun ini diwajibkan bila kondisi Baitul Mal mengalami kekosongan harta.
Baitul Mal sendiri memiliki pos-pos pemasukan yang berasal dari fai, kharaj, ‘usyur, dan harta milik umum atau pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang dialihkan menjadi milik negara. Sehingga Negara boleh memunggut pajak jika tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, karena dana negara tidak mencukupi untuk membiayai berbagai pengeluaran yang jika pengeluaran tersebut tidak dibiayai maka akan timbul kemadharatan. Sedangkan mencegah kemudharatan adalah suatu kewajiban. Sehingga pajak tersebut menjadi wajib. Namun negara tidak bisa semena-mena dalam memunggut pajak dari kaum muslimin, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh negara diantaranya sebagai berikut:
Pertama, negara komitmen dalam penerapan syariat Islam. Kedua, negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan kemaslahatan umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan negara yang sedang dirongrong oleh musuh. Ketiga, tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh negara (Baitul Mal) betul-betul kosong.
Keempat, pemungutan pajak hanya diberlakukan oleh orang-orang kaya saja atau orang yang mempunyai kelebihan harta, tidak boleh diberlakukan oleh rakyat miskin. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Dan siapa saja yang tidak memiliki kelebihan harta, maka pajak tidak diambil dari yang bersangkutan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw: Sebaik-baiknya shadaqah adalah yang berasal dari orang-orang kaya.” (HR. Bukhari melalui jalur Abu Hurairah).
Kelima, pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika negara dalam keadaan genting. Keenam, besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja. Sehingga pemungutan pajak tidak dilakukan secara massif tanpa pandang bulu yang mengakibatkan rakyat terdzalimi.
Inilah indahnya sistem ekonomi Islam yang menjadikan syariat Allah sebagai asas untuk berpijak. Yang memiliki tujuan dan paradigma yang lurus dan jelas, dan berpedoman akan pemenuhan hajat hidup orang banyak. Sehingga tidak ada jalan lain untuk membunuh para vampire-vampire pajak, kecuali dengan cara menganti sistem ekomoni neoliberal yang nyata-nyata rusak dengan sistem ekonomi Islam yang akan mewujudkan kemaslahatan yang hakiki. Wallahu A’alam Bisshawab.
Siti Komariah, S. Pd. I
(Komunitas Peduli Umat, Konda, Konawe Selatan)