Palestina: Antara Opini, Narasi dan Aksi Nyata

Operasi Thufanul al Aqsha sejak 7 Oktober 2023 lalu membuka mata dan membalikkan opini dunia. Yang semula dunia teguh mendukung Israel dengan dalih membela diri dan menjaga kedaulatan.
Sekarang dunia melihat semua kekarasan sudah dilakukan Israel untuk menghilangkan entitas Palestina (ethnic cleansing). Mulai dari penggusuran, agresi (pembantaian, pemboman), blokade dan sebagainya. Sudah tak terhitung serangan Israel pada Palestina dengan korban rakyat sipil mencapai jutaan jiwa.
Aksi massif ratusan ribu orang di berbagai negara muslim dan non muslim lintas benua mengutuk Israel dan mendukung Palestina. Yang terakhir menyita perhatian, tercatat 4.000 an orang dari 80 negara mengatur penerbangan ke Kairo untuk mengikuti Global March to Gaza (15 sampai 19 Juni 2025). Yaitu pawai internasional yang menempuh jarak 50 km dari Kairo ke perbatasan Rafah. Berbarengan dengan konvoi Sumuud yang melakukan perjalanan dari Tunisia melalui Libya menuju perbatasan Rafah (9 Juni 2025). Diperkirakan 1.500-an orang ambil bagian. Keduanya bertujuan menunjukkan solidaritas atas krisis kemanusiaan di Gaza, membawa harapan terbukanya blokade Israel dan menghentikan genosida di Gaza.
Kebijakan dunia pun linier dengan opini dunia yang sudah tak memihak Israel. PBB sudah menormalkan kata genosida atas ulah keji Israel. Beberapa negara memutus hubungan diplomatik, menarik duta besar dan penduduknya pun menolak kehadiran warga Israel di tanah air mereka. Seperti Bolivia, Chili, Chad, Honduras dan Kolombia. Bahkan Afrika Selatan telah menuntut Israel ke Mahkamah Internasional.
Tapi tumpahan darah, air mata dan teriakan pilu Palestina masih terus mengalir dan menggema. Sejak Thufanul al Aqsha, Israel telah menjatuhkan 70 ribu ton bom (sebagiannya bom fosfor putih yang terlarang) di Gaza. Kekuatan bomnya 1,5 kali lipat dari bom yang dijatuhkan di Hiroshima dan dua kali lipat dari total bom di Perang Dunia (PD) II. 94 % rumah sakit rusak parah, 70 % sekolah hancur serta rumah warga, kamp pengungsi, kuburan, masjid pun menjadi puing-puing. Kelaparan ekstrim, kekurangan air bersih, minim obat-obatan adalah kehidupan di Gaza hari ini . Diperkirakan akibat penjajahan Israel, wilayah Palestina hanya tersisa 10 % saja.
Narasi Solusi Palestina
Setiap manusia yang hidup rasa kemanusiaannya tak akan menerima genosida Israel. Apatah lagi muslim yang memiliki hubungan spiritual (akidah) dan emosional lebih kuat dengan Palestina. Fitrah untuk menyuarakan solusi dan bergerak menolong saudara yang terjajah. Mengemuka beberapa narasi solusi Palestina yang patut diapresiasi sebagai refleksi iman dan kepedulian. Tapi penting menelaah keshahihan narasi tersebut.
Pertama, narasi boikot dan divestasi produk terafiliasi Israel.
Narasi ini digalakkan sejak tahun 2000, sekarang semakin meluas. Memang diakui narasi ini berpengaruh dan memberi tekanan publik pada Israel. Tapi sampai detik ini Israel tetap gagah menggenosida Palestina. Karena sumber asupan cuan genosidanya dari Amerika Serikat (AS).
Ekonomi AS tegak atas ideologi kapitalisme yang ternyata mayoritas negeri muslim menerapkannya. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah di negeri muslim banyak yang bekerjasama dengan perusahaan milik AS. Bejibun investasi resiprokal di bidang sains, teknologi, dagang antara AS dan negeri-negeri muslim. Yang masih hangat saat kunjungan Trump ke beberapa negara Arab Mei kemarin. Trump panen investasi dari Arab Saudi (Rp10.000 triliun), Qatar (Rp19.840 triliun), Uni Emirat Arab (Rp23.000 triliun). Belum lagi dari negara lain yang menjadi pengikut setia AS. Sehingga secara tak langsung cuan ini pun mengalir ke Israel.
Jelas tak imbang boikot yang dilakukan orang per orang dibandingkan dengan aliran cuan sistemik negara ke AS. Harus diakui boikot orang per orang bukanlah solusi tuntas Palestina. Boikot hanya efektif atas nama negara.
Kedua, narasi bantuan kemanusiaan.
Krisis kemanusiaan Palestina hakikatnya impak dari penjajahan Israel. Artinya bantuan kemanusiaan tak akan menyelesaikan masalah selama penjajahan tetap berlangsung. Bantuan kemanusiaan tertahan dan menumpuk di perbatasan Rafah, tak tersalurkan. Yang miris truk pengangkut bantuan ternyata dipalak penjaga perbatasan dengan tarif ribuan dolar jika mau lolos ke Gaza. Pun sama dengan peserta Global March to Gaza dan konvoi Sumuud yang ditahan dan dihentikan aksinya oleh otoritas Mesir dan Libya.
Pembagian bantuan makanan di Palestina saat ini hanya dikelola oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF). Lembaga ini dikontrol dan diawasi oleh militer Israel dan AS. Media dunia ramai melansir pembagian makanan tak manusiawi karena menggunakan sistem militer dan kekerasan. Sudah ratusan jiwa ditembak militer Israel saat antri makanan. Bahkan lembaga ini ketahuan menyusupkan narkotika dalam tepung makanan. Sengaja untuk menjadikan rakyat Gaza kecanduan dan merusak struktur sosial.