RESONANSI

Palestina yang Abadi bagi Saeed dan Darwish

Tahun 1970, Darwish bagai syair pengembara yang limbung. Mesir, Lebanon, Tunisia, hingga Paris ia jajaki, namun semuanya tak memberinya banyak kehangatan. Palestina bersemayam di hatinya, juga di atas kertas-kertas syairnya.

Sebuah narasi ketakutan sejarah

Apa yang telah dilakukan Saeed dan Darwish semakin membuat kekhawatiran mendalam bagi para lawan geopolitik Timur Tengah. Darwish di Paris, dan Saeed di Amerika, sama-sama melempar cermin pada sejarah dunia; mereka memperlihatkan wajah kolonialisme lama yang masih terus hidup, wajah penindasan yang tak pernah selesai, baik fisik maupun narasi pengetahuan.

Palestina benar-benar menjadi tiang utama. Setiap kali nama Palestina disebut, dunia teringat pada sejarah panjang penjajahan, pengusiran, dan perlawanan. Dan memori itu benar-benar berbahaya, karena secara tak langsung telah membongkar narasi kuat bahwa peradaban Barat adalah penjunjung perdamaian dan hak asasi manusia.

Hari ini kita tengah bertarung narasi. Kita duduk hanya terdiam memilah pemberitaan Palestina dari satu kubu sampai kubu yang lain; terorisme, HAM, perdamaian dunia, hingga terma-terma yang terkadang pro dan terkadang kontra. Tapi sungguh apa yang diwariskan Saeed dan Darwish adalah sebuah kebenaran.

Jika setiap sisi dunia saling berusaha menghapus sejarah; memadamkan, mematikan, dan menggelapkan, maka suara-suara kebenaran melalui pena-pena penderitaanlah yang menyingkapkan cahaya. Sungguh, Darwish dan Saeed telah mengabadikan nama dan bangsanya sampai kapanpun. Tabik []

Muhammad Farhan, Asal Pasuruan, Jawa Timur. Seorang cerpenis dan kolumnis, lulusan Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bisa ditemui melalui Instagram @farhanmuhammad2311.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button