NUIM HIDAYAT

Pancasila, Piagam Jakarta dan NKRI Bersyariah

Usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945, tanpa revisi, juga dilaksanakan pemungutan suara di Majelis Konsituante. Konstituante bahkan melakukan tiga kali pemungutan suara. Pada 30 Mei 1959, hasilnya 269 pro dan 199 kontra. 1 Juni 1959 hasilnya 264 pro dan 204 kontra. Dan terakhir pada 2 Juni 1959, 263 pro kembali UUD 45 dan 203 kontra. Karena kemenangan kurang dari 2/3 suara –sebagaimana diamanatkan dalam UUD 45—maka hasil pemungutan suara itu tidak ada yang menang.

Beberapa anggota Konstituante dari kubu pro Pancasila, PNI, PKI dan IPKI menyarankan agar Konstituante membubarkan diri. Banyak diantara mereka menyatakan tidak akan hadir pada sidang-sidang Konstituante berikutnya. Maka pemungutan suara pada 2 Juni 1959 itu, adalah sidang terakhir Majelis Konstituante. Dari kubu Islam, Masyumi dan NU, berharap agar Konstituante menyelesaikan pekerjaannya menyelesaikan konstitusi baru. Beberapa anggota Konstituante mengusulkan kepada pemerintah memberi kesempatan kepada mereka untuk bersidang sampai Maret 1960.

Maka pimpinan TNI dan wakil-wakil Konstituante mengusulkan kepada presiden Soekarno agar mengeluarkan dekrit. Menteri Penerangan Roeslan Abdulgani menghadap Soekarno yang sedang berkumjung ke Tokyo, untuk memberi laporan tentang perkembangan politik dalam negeri. Presiden pun segera pulang ke tanah air pada 29 Juni 1959. Rumusan dekrit itu akhirnya ditandatangani pada 4 Juli 1959 dan diumumkan di Istana Merdeka Jakarta pada 5 Juli 1959.

Dengan Dekrit Presiden itu, maka lahirnya undang-undang yang bernuansa syariah mempunyai landasan hukum yang kuat. Kini banyak UU yang bernuansa syariah, seperti: UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan Pornoakasi, UU Jaminan Produk Halal dan lain-lain.

UU yang bernuansa syariah ini dalam praktiknya juga diterima publik, bahkan menimbulkan kemaslahatan terhadap masyarakat lebih luas. Jadi kekhawatiran sejumlah pihak terhadap UU yang bernuansa syariah di negeri ini terlalu berlebihan.

Maka, Pancasila, ruang publik dan adanya tuntutan syariah yang konstitusional tidak perlu diperdebatkan.

Mantan Perdana Menteri RI, Mohammad Natsir mewanti-wanti, ”Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang Al-Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Al-Qur’an itu, yaitu induk serba sila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.” []

Nuim Hidayat, Anggota MIUMI dan MUI Depok.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button