NUIM HIDAYAT

Para Pengkhianat Islam (2)

Mustafa Kemal Pasha (Attaturk)

Mustafa Kemal lahir pada 1881 di sebuah Kawasan miskin di Salonika Turki. Ayahnya, Ali Riza adalah seorang bekas pegawai rendahan di kantor pemerintah. Setelah mengalami dua kali kegagalan dalam bisnisnya, Ali Riza tenggelam dalam dunia hitam, menjadi peminum sebagai kompensasi kesedihannya. Hingga akhirnya ia mati akibat penyakit tuberculosis saat Musthafa masih berumur tujuh tahun.

Ibu Musthafa, Zubaida seorang Wanita yang buta huruf, menjadi ibu sekaligus kepala rumah tangga. Berbeda dengan suaminya, Zubaida adalah seorang Muslim yang taat. Sebagaimana Wanita-wanita Turki pada masa itu, seluruh hidupnya difokuskan untuk masa depan anak laki-lakinya yang tertua, Musthafa. Karena ketaatannya pada Islam, ia mengharapkan Mustafa menjadi ulama yang faqih.

Namun ternyata Musthafa mempunyai pendirian yang berbeda. Musthafa tumbuh menjadi remaja pemberontak. Ia melawan segala bentuk peraturan, serta bersikap kasar dan kurang ajar pada gurunya. Di depan para siswa yang lain, ia menunjukkan sifat yang sangat arogan dan suka menyendiri. Ia tidak mau bermain Bersama teman-temannya, sehingga tumbuh menjadi pribadi yang tidak disukai teman-temannya. Bila merasa diganggu tak segan-segan menggunakan kekerasan untuk melawan.

Suatu kali, karena sikap kasar dan kurang ajar Musthafa, gurunya menjadi gelap mata dan memukuli Musthafa sedemikian keras hingga melukai perasaannya. Musthafa lari dari sekolah dan tidak mau kembali. Meski ibunya berusaha keras membujuk agar Kembali ke sekolah, Musthafa sama sekali menolaknya. Zubaida merasa putus asa, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya datang usulan dari salah seorang pamannya agar memasukkan Musthafa ke sekolah militer di Salonika. Usulan ini berdasarkan pertimbangan bahwa Zubaida tidak perlu mengeluarkan biaya Pendidikan, karena sekolah militer dibiayai negara. Lalu apabila Musthafa bisa menunjukkan prestasi yang bagus, ia bisa menjadi seorang perwira. Bila tidak, ia tetap akan menjadi seorang prajurit. Singkat kata, apapun yang akan terjadi, kehidupan Musthafa tetap terjamin.

Meskipun Zubaida tidak sepakat dengan usulan tersebut, namun ia tidak bisa menghalangi Musthafa -yang saat itu masih berusia 12 tahun- meminta salah seorang kenalan ayahnya untuk membantunya masuk ke sekolah militer. Musthafa mengikuti seleksi dan lulus menjadi seorang kadet. Di sekolah militer inilah, Musthafa menemukan dunianya. Dia menunjukkan prestasi akademik yang bagus, sehingga salah seorang pengajar memberinya julukan ‘kemal’ yang berarti kesempurnaan. Karena kepandaiannya dalam bidang matematika dan pengetahuan kemiliteran, Musthafa dipromosikan sebagai staf pengajar. Di posisi ini, MUsthafa mempunyai kesempatan mempertunjukkan kekuasaannya. Setelah berhasil mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian akhir, Musthafa lulus dengan gelar kehormatan pada bulan Januari 1905 dengan pangkat Kapten.

Pada saat itu Musthafa bergabung dengan suatu perkumpulan mahasiswa nasionalis yang fanatic, yang dikenal dengan nama Vatan atau Tanah Air. Para anggota Vatan menganggap diri mereka kelompok yang revolusioner. Mereka sangat menentang pemerintahan Sultan Hamid II, yang memberangus segala pemikiran ‘liberal’ yang merongrong pemerintahan Islam. Kelompok ini terus menerus menyalahkan Islam yang dianggap sebagai penyebab keterbelakangan Turki dan tak jemu-jemunya menyebarkan kebencian terhadap syariat yang dianggap kolot serta menjadikan ajaran-ajaran sufi sebagai bahan tertawaan. Para anggota Vatan bersumpah akan melengserkan Sultan dan menggantinya dengan system pemerintahan ala Barat lengkap dengan konstitusi dan parlemen, menghancurkan otoritas para ulama, menghapuskan purdah (jilbab) dan kerudung. Serta mendeklarasikan kesetaraan yang mutlak antara laki-laki dan Perempuan. Tidak lama bergabung, Musthafa menjadi pimpinan kelompok itu.

Kesempatan bagi Musthafa untuk memperluas pengaruh akhirnya dating. Begitu Sultan Abdul Hamid II diturunkan oleh Partai Turki Muda pada tahun 1908, Komite Persatuan dan Kemajuan mengundangnya untuk bergabung Bersama. Namun sebagai pendatang baru, ia diwajibkan untuk melaksanakan sejumlah perintah dari pimpinan organisasi, sedangkan sifat dasarnya menuntut agar dialah yang menjadi pemimpin. Akibatnya Musthafa merasa gelisah dan tidak puas. Ia sama sekali tidak menghargai anggota-anggota lainnya yang dianggao sebagai penghalang keinginannya. Ia sangat membenci Perdana Menteri Pangeran Anwar Said Halim Pasha (1865-1921) dan Menteri Perang, Anwar Pasha (1882-1922) yang seringkali menentang pendapatnya.

Selama sepuluh tahun berikutnya, ia Kembali menekuni bidang kemiliteran sebagai sebelumnya. Perlahan-lahan berkat kepribadiannya yang keras dan kecerdasannya, ia merenguh semakin banyak kekuasaan politik. Ia menghabiskan malam-malamnya dengan mengadakan rapat-rapat rahasia untuk merencanakan kudeta, yang diharapkan dapat menghasilkan kekuasaan absolut baginya.

Kesempatan mulai terbuka, Ketika pada akhir Perang Dunia I ia memimpin pasukan pertahanan Turki melawan pasukan sekutu Eropa yang ingin memecah belah kekuatan “The Sickman od Europe” dan menghancurkannya dengan cepat. Dengan usaha-usahanya merintangi penjajahan Sekutu dan membangkitkan rakyat untuk berjuang sampai mati demi tanah airnya, Musthafa menjadi pahlawan nasional. Pada saat Yunani berhasil dikalahkan dan Turki memperoleh kemenangan, rakyat Turki mabuk kemenangan dan memuja Musthafa Kemal sebagai sang penyelamat. Rakyat Turki memberinya gelar al Ghazi yang berarti pembela kebenaran.

Berbagai pengakuan dari diplomat asing semakin meneguhkan kedudukan Musthafa sebagai pahlawan Turki melawan penjajah Barat. Di depan para politisi Arab, Musthafa berkata,”Saya tidak percaya dengan federasi negara-negara Islam maupun liga bangsa Turki di bawah kekuasaan Soviet. Tujuan saya satu-satunya adalah melindungi kemerdekaan Turki dalam batas-batas alaminya. Bukan membangkitkan Kekhilafahan Utsmaniyah atau kekhilafahan lain. Jauh dari segala mimpi dan bayangan-bayangan. Mereka (kekhilafahan) telah banyak merugikan kita di masa lalu.”

Tidak lama setelah berkuasa (menjadi presiden), Musthafa menyatakan dengan tegas bahwa ia akan menghancurkan seluruh puing reruntuhan Islam dalam kehidupan bangsa Turki. Hanya dengan mengeliminasi segala sesuatu yang berbau Islam, Turki bisa memperoleh kemajuan menjadi bangsa yang dihormati dan modern. Tanpa rasa takut dan ragu, ia menyerang Islam dan pilar-pilar Islam:

Selama hampir lima ratus tahun, hukum dan teori-teori ulama Arab serta tafsir para pemalas dan tiada guna telah menentukan hukum perdata dan pidana Turki. Mereka menetapkan konstitusi, rincian hidup orang Turki, makanannya, waktu-waktu bangun dan tidurnya, bentyk busananya, rutinitas istri yang melahirkan anak-anak mereka, apa yang dipelajari di sekolahnya, adat istiadatnya, pemikiran-pemikirannya, bahkan sampai perilaku mereka yang paling pribadi. Islam -teologi Arab yang immoral itu- adalah benda mati. Bisa saja Islam cocok untuk suku suku di padang pasir. Tetapi Islam tidak bermanfaat untuk negara yang modern dan maju. Wahyu Tuhan, katanya. Tidak ada itu wahyu Tuhan. Islam hanyalah rantai yang digunakan para ulama dan penguasa tiran untuk membelenggu rakyat. Penguasa yang membutuhkan agama adalah orang yang lemah. Orang yang lemah tidak boleh berkuasa.”

Akhirnya Musthafa melakukan resmi sekulerisasi di Turki dan membentuk undang-undang:

  1. Undang-undang tentang penyatuan (dan sekulerisasi) Pendidikan pada tanggal 3 Maret 1924
  2. Undang-undang tentang penutup kepala, pada 25 November 1925
  3. Undang-undang tentang penutupan biara dan kuburan para Darwis, penghapusan kantor penjaga makam, dan peraturan tentang penghapusan dan pelarangan gelar-gelar tertentu pada 30 November 1925
  4. Peraturan sipil tentang pernikahan pada 17 Februari 1926
  5. Undang-undang tentang pengambilan angka internasional pada 20 Mei 1928
  6. Undang-undang tentang pengambilan dan penerapan alfabet (latin) Turki serta pelarangan tulisan Arab, pada 1 November 1928
  7. Undang-undang tentang penghapusan gelar-gelar dan sebutan seperti Efendi, Bey, Pasha pada 26 November 1934
  8. Undang-undang tentang larangan memakai busana tradisional pada 3 Desember 1934.[]

Nuim Hidayat
Sumber: Maryam Jameelah, Para Pengkhianat Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2008.

Artikel Terkait

Back to top button