Paradoks Museum Holocaust dan Fakta Rasisme Israel
Pada Februari 2022, umat Islam Indonesia dikejutkan dengan kabar tentang berdirinya Museum Holocaust di Sulawesi Utara. Maka, spontan saja, sejumlah tokoh Islam melakukan kritik tajam terhadap pendirian museum di bumi Indonesia itu. Sebab, pendirian museum tersebut diduga merupakan bagian dari propaganda Yahudi Zionis.
Museum Holocaust (Holokos) itu berdiri di Kota Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Menyusul terjadinya polemik, maka pengelola Museum Holokos menemui pimpinan MUI Sulawesi Utara (Kamis, 3/2/2022). Pada pertemuan itu, perwakilan komunitas Yahudi di Minahasa menegaskan bahwa museum tersebut dibangun bukan didasari untuk mengampanyekan normalisasi hubungan diplomasi Indonesia-Israel, melainkan sebagai pengingat agar genosida terhadap orang-orang Yahudi pada Perang Dunia II yang diawali rasisme dan kebencian tidak terulang di kemudian hari terhadap etnis atau penganut agama apa pun. (Baca: okezone.com)
Juga diberitakan, bahwa material berupa gambar dan tulisan yang dipamerkan di Museum Holocaust di Sulawesi Utara ternyata dikirim langsung dari Israel. Ke depannya, museum itu bakal dipenuhi dengan barang-barang berkaitan dengan Holocaust.
“Museum yang sekarang kita mulai itu gambar dan tulisan. Materinya dari Museum Holocaust Yerusalem. Itu mereka yang kirim, nanti ke depan kita isi pelan-pelan dengan barang yang berhubungan dengan Holocaust,” kata pemimpin Synagogue Shaar HaShamayim, Rabbi Yaakov Baruch, saat diminta konfirmasi detikcom, Rabu (2/2/2022). Museum Holocaust Yahudi ini diresmikan tanggal 27 Januari 2022. Yaakov menyatakan museum ini satu lokasi dengan Sinagoge yang telah dibangun sejak 2004 lalu. (Baca: detik.com)
Apa pun alasan yang dikemukakan oleh para pendiri dan pendukung Museum Holokos di Minahasa, tujuan pendirian Museum itu patut dipertanyakan. Museum itu jelas ada hubungan dengan negara Yahudi Israel, yang dikenal dunia sebagai negara yang sangat rasis. Kita simak kembali tujuan pendirian Museum Holokos, seperti yang ditulis dalam berita tersebut: “sebagai pengingat agar genosida terhadap orang-orang Yahudi pada Perang Dunia II yang diawali rasisme dan kebencian tidak terulang di kemudian hari terhadap etnis atau penganut agama apa pun.”
Sekadar mengingatkan bahwa sejumlah tokoh Yahudi mengakui Isreal sebagai negara yang rasis. Istilah “Jewish State” memang menunjukkan, negara Israel merupakan negara yang rasialis. Identifikasi ke-Yahudi-an (Jewishnesss) ditentukan tahun 1950-1954 dalam cara yang sama dengan definisi Hitler (dan berbagai ideologi atau kelompok anti-Semitisme) lainnya, yaitu siapa saja yang memiliki “darah Yahudi”. Tahun 1970, the Law of Return diubah, dengan mendefinsikan Yahudi sebagai “orang yang dilahirkan dari ibu Yahudi, atau yang memeluk agama Yahudi, dan tidak menjadi pemeluk agama lain. (Lihat: Pilkington, Judaism, (London: Hodder Headline Ltd., London, 2003).
Contoh cendekiawan Yahudi yang dengan keras menentang negara Israel adalah Prof. Israel Shahak, seorang ahli biokomia di Hebrew University Yerusalem. Melalui bukunya yang berjudul: “Jewish History, Jewish Religion: The Weight of Three Thousand Years (London: Pluto Press, 1994)”, Isreal Shahak menguraikan fakta praktik-praktik rasisme di Isreal.
Dalam pengantar bukunya, ia bercerita, bahwa suatu ketika, saat berada di Jerusalem, ia menjumpai kasus yang mengubah pikiran dan jalan hidupnya. Saat itu, hari Sabtu (Sabath), Shahak berusaha meminjam telepon seorang Yahudi untuk memanggil ambulan, demi menolong seorang non-Yahudi yang sedang dalam kondisi kritis.
Di luar dugaannya, si Yahudi menolak meminjamkan teleponnya. Orang non-Yahudi itu pun akhirnya tidak tertolong lagi. Israel Shahak kemudian membawa kasus ini ke Dewan Rabbi Yahudi – semacam Majlis Ulama Yahudi – di Jerusalem. Dia menanyakan, apakah menurut agama Yahudi, tindakan si Yahudi yang tidak mau menyelamatkan orang non-Yahudi itu dapat dibenarkan oleh agama Yahudi?
Di luar bayangan Dr. Shahak, Dewan Rabbi Yahudi di Jerusalem (The Rabbinical Court of Jerusalem) justru menyetujui tindakan si Yahudi yang mengantarkan orang non-Yahudi ke ujung maut. Bahkan, itu dikatakan sebagai ”tindakan yang mulia”. Israel Shahak menulis: ”The answered that the Jew in question had behaved correctly indeed piously.”