Pasar Rasulullah untuk Kemandirian Umat
Pasar buatan Rasulullah saw berupa tanah lapang, sangat luas, dan tidak dibuat dengan bangunan permanen. Tidak ada pajak, sewa tempat, pungutan, atau kutipan apapun di pasar ini guna menjaga harga tidak naik di tingkat pembeli. Uniknya, siapa saja kaum muslim boleh berdagang di pasar ini, tidak boleh ada yang mengkapling-kapling tanah pasar untuk sendiri. Pasar ini berdiri di atas tanah wakaf.
Setiap orang berhak berdagang di sebelah mana saja, sama seperti orang duduk di Masjid bebas di sudut mana saja. Pengambilan tempat berdasarkan pada urutan datang. Siapa yang pertama kali datang, dia berhak untuk memilih tempat di pasar.
Nilai tambah yang sangat istimewa dari pasar ini adalah sangat ketat dalam menjaga pelaksanaan syariat muamalah Islam. Prinsip-prinsip transaksi Islam sangat diperhatikan. Di pasar ini tidak boleh ada riba, judi, gharar, dan kemungkaran yang lain. Diharamkan adanya kecurangan jual beli, seperti mencampur produk dengan barang haram, mengurangi timbangan, dan penipuan lainnya.
Tidak main-main, Rasulullah saw mengangkat Umar bin Khattab ra, sang singa Allah, sebagai pengawas pasar. Umar bin Khattab ra yang sangat wara’ menjamin pelaksanaan muamalah dengan sebaik-baiknya. Beliau diberi kewenangan untuk menindak segala bentuk kecurangan yang terjadi tanpa pandang bulu.
Sehingga tak mengherankan jika Pasar Rasulullah saw yang penuh berkah dan jauh dari kemungkaran ini semakin diminati oleh banyak kalangan. Baik kaum muslimin maupun non muslim berbondong-bondong bertransaksi di dalamnya. Sejalan dengan waktu, pasar ini sanggup menggusur dominasi kaum Yahudi di sektor perekonomian.
Sejarah Berulang, Umat Berjaya Kembali
Sejarah berulang kembali di masa dan tempat yang berbeda. Kondisi yang kita alami saat ini di Indonesia serupa dengan kondisi yang terjadi di awal masa nubuwwah. Perekonomian umat didominasi produk-produk dari negara asing, khususnya yang berafiliasi dengan kaum Yahudi.
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim, masih banyak tergantung dengan asing dalam perekonomiannya. Ketergantungan Indonesia atas produk dan keuangan dari negara Yahudi pun terbilang akut. Umat Islam juga banyak yang tak menyadari hal ini. Persis keadaan sebelum Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Maka, berkaca dari sejarah pasar Rasulullah sudah sepantasnya kita menapaki kembali kedua strategi yang dilakukan Rasulullah saw dalam menaklukkan ekonomi Yahudi.
Memang, suasananya berbeda. Saat itu perekonomian ditopang oleh produk-produk pertanian. Belum ada kecanggihan komunikasi. Belum ada modernisasi transportasi. Belum ada diversifikasi pengolahan produk. Dan belum ada sarana-sarana hebat seperti sekarang.
Namun pada intinya, strategi ekonomi yang di jalankan Rasulullah saw itu bertumpu pada Peningkatan Produksi Dalam Negeri (Hadis menghidupkan tanah mati) dan Penerapan Sistem Muamalah Islam (pendirian pasar Rasulullah saw tandingan pasar Bani Qoinuqo’).
Maka, beranikah Pemerintah Indonesia melakukan strategi ekonomi yang tidak populer, seperti yang dilakukan Rasulullah saw? Hasilnya sudah nyata. Kedua strategi itu sanggup menggusur hegemoni dan dominasi ekonomi liberal buatan Yahudi. Bukankah itu juga yang terjadi sekarang?
Hadis Rasulullah saw dalam strategi ekonominya, dapat diimplementasikan sebagai undang-undang atau peraturan pemerintah untuk peningkatan produksi dalam negeri dan kewajiban memakai produk dalam negeri. Khusus produksi dari lini pertanian, sebagai khittah Indonesia negara agraris, harus mendapat perhatian khusus. Kebangkitan Indonesia sebagai negara Maritim pun juga diawali dari strategi ini.
Selanjutnya, yang tidak kalah penting, Pemerintah Indonesia harus berani membuat pasar sendiri. Pasar yang berbasis pada sistem ekonomi Islam, tanpa kecurangan, tanpa korupsi, tanpa penindasan. Kuat dalam pondasi produksi.
Kenapa harus muamalah Islam, bukan hukum muamalah yang lain, seperti halnya muamalah demokrasi, muamalah liberal, atau bahkan muamalah sosialis? Sebab muamalah Islam adalah satu-satunya sistem muamalah yang menyeluruh. Sistem yang menyentuh sisi Ketuhanan dan sisi Kemanusiaan. Para pelaku sejati dalam muamalah Islam, akan selalu bertanggung jawab atas segala tindakannya dalam bermuamalah. Mereka akan dituntut untuk paham fiqih (tata cara) berekonomi. Yang Muslim akan senantiasa berhati-hati dalam muamalahnya, dan yang non muslim pun akan merasakan keberkahannya juga.
Maka bukan tak mungkin jika Indonesia bisa menjadi negara pelopor ekonomi Islam kuat dan mandiri. Yang mampu mematahkan dominasi perekonomian ribawi ala Yahudi. Dan tidak lagi menjadi bidak yang dimainkan kekuatan ekonomi liberal. Umat Islam akan mampu berjaya kembali dalam naungan sistem Islam kaffah. Wallahu ‘alam bishshawab
Desi Anugrah Muthmainnah
(Pemerhati Kebijakan Publik)