Paslon Presiden ‘PS-GRR Cacat Hukum’
Status ad hoc 30 hari kerja yang disematkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK MK) yang diembani tugas untuk mengembalikan marwah, harkat, dan martabat, serta kepercayaan rakyat semuanya tak berlangsung secara elegant dan sempurna perfectly:
Pastilah meskipun tercapai percepatan kinerja dua pekan hasilnya sebatas yang telah diumumkan oleh Prof. Jimly Assidiqie itu semalam kemarin.
Yaitu, yang hasilnya memang sudah selayaknyalah Anwar Usman itu dipecat dan diberhentikan dari jabatan Ketua MK.
Tetapi, yang menjadi dasar faktor sebab-akibat penentu (causality of the rule) kenapa sampai pemecatan terjadi itu yang tak tersentuh.
Sehingga, tidak mampu menyeret dan menggetah serta menggetok tular kepada para pihak lain yang terlibat yang justru menjadi subyek sentral atas terjadinya obyek segala kegaduhan, kekacauan dan pengrusakan di MK ini.
Yaitu, Gibran ponakannya serta ayahnya, Joko Widodo, yang melekat di pribadinya selaku Presiden RI sampai saat ini.
Prof. Jimly terkesan masih menutup-nutupi dengan alasan jika dibuka ke publik diikuatirkan akan menimbulkan perpecahan. Apa itu benar?
Belum tentu benar! MKMK ternyata tampak kelihatan miris, masih tebal diselimuti “hantu-hantu kekuasaan” yang sssungguhnya tak ada yang seharusnyalah tak perlu ditakuti.
Artinya, kinerja MKMK itu secara independensi masih kurang bernyali dalam ketegasan dan keberanian mengambil keputusan —yang publik pun sudah tahu bahwa masalah yang dihadapinya, adalah suatu “extra ordinary case” yang boleh jadi bukan lagi soal berada di ruang area etika, tapi sesungguhnya sudah memasuki ranah kejahatan kriminal pidana.
Sudah sedari awal adanya indikasi keterselebatan pencalonan Gibran itu berbau sangat amis adanya campur tangan Jokowi mempengaruhi Anwar Usman melegitimasi dan menghegemoni serta merambah begitu tebal secara nepotis lembaga peradilan MK itu.
Secara political out put“ pun publik sudah tahu bagaimana hasilnya pada akhirnya bahwa cara-cara kotor nepotisme ke permainan politik dinasti itu tidak saja tidak maslahat. Bahkan, bakal merusak tatanan demokrasi, baik sebelum maupun sesudahnya.
Terlebih, manuver Gibran yang sarat dan kental dengan pengaruh kekuasaan itu sudah jelas-jelas melanggar pasal aturan MK sendiri. Bahkan, menabrak konstitusi.