Pekerja Sosial vs Gerombolan Hoaks di Area Banjir
Banjir kali ini bencana atau kesalahan gubernur Anies? Ini dulu yang harus dijawab. Apa bedanya? Kalau itu bencana, maka siapapun gubernurnya, situasinya akan sama. Hanya bisa mangatasi dan menininalisir dampaknya.
Gubernur dinyatakan salah jika banjir bisa diantisipasi, tapi tidak melakukannya. Curah hujan wajar dan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi dampaknya lebih besar dan lebih serius.
BMKG mencatat bahwa curah hujan kali ini terbesar setelah 154 tahun. Ini artinya, bahwa banjir kali ini adalah bencana. Luasnya banjir dan besarnya dampak bencana yang menimpa beberapa wilayah di negeri ini membuat Erdogan, Presiden Turkey turut mengucapkan bela sungkawa. Kira-kira jelas ya?
Bencana ini berubah seolah-seolah menjadi kesalahan gubernur ketika ada pihak-pihak yang sengaja menggiring ke arah sana. Ada meme, video, tulisan dan macam-macam. Serentak dibuat untuk menyerang gubernur dengan masing-masing drama dan kreativitasnya.
Ada sebuah tulisan. Isinya sangat ber-energi. Sekilas datanya seperti valid. Dalam tulisan itu disebutkan, selama dua tahun, Anies tak pernah urus tiga sungai di DKI. Dibiarkan dangkal. Saat hujan tiba, sungai itu tak lagi mampu menampung air. Meluap dan terjadilah banjir.
Tulisan itu seolah masuk akal karena alurnya yang sistematis. Sangat meyakinkan. Baru ketahuan hoaks ketika ketua DPRD DKI Prasetiyo meminta menteri PUPR yang selama ini bertanggung jawab atas tiga sungai tersebut menyerahkan kapada DKI. “Serahkan pembangunan tiga sungai itu ke Pemprov DKI, banjir akan teratasi”, kata Prasetiyo. “DKI punya dana luar biasa dan mampu urus tiga sungai itu”. Nah…
Data yang salah akan menghasilkan analisis dan kesimpulan yang salah. Hati-hati. Ini menyangkut integritas dan kualitas dalam penulisan. Kecuali jika tujuannya memang untuk menghabisi Anies.
Ini mirip kasus ambruknya jembatan hutan kota di Kemayoran Jakarta Pusat, sehari setelah diresmikan. Meme, video, dan macam-macam tulisan begitu cepat keluar dan menyasar Anies. Lagi-lagi salah Anies. Gubernur DKI dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab. Ternyata? Itu proyek kementerian sekretariat negara. Salah mbok sesekali, tapi kok terus diulang-diulang.
Sebelumnya, ada lem aibon. Saat itu saya bilang: setelah lem aibon apalagi? Ternyata jembatan Kemyoran. Setelah itu? Terjadilah banjir. Isu banjir digarap lebih masif. Hoaksnya juga paling masif diantara isu-isu sebelumnya. Gambar dan video-video Anies yang lama dikeluarin dengan design dan tulisan macam-macam. Seolah baru ambil gembar saat banjir terjadi. Lagi-lagi pertanyaan saya: setelah banjir reda, isu apalagi? Kita tunggu hoaks-hoaks berikutnya. Selama Anies jadi gubernur, para pendukung lawan politik belum juga move on, dan kebijakan Anies terus merepotkan kepentingan oligarki, maka ritual caci maki dan antrian hoaks terkait DKI tidak akan pernah berhenti. Paham kan? Jadi, gak usah kaget.
Jika kelas elit merusak bangsa ini dengan korupsi dan manipulasi, maka kelas rakyat merusak peradaban negeri ini dengan memproduksi kosa kata penuh kebencian dan hoaks. Hanya karena beda pilihan politik, sikal moral dan etika dalam berkomunikasi tak lagi dianggap penting lagi.
Di tengah musibah dan bencana banjir, banyak warga menderita. Tidak saja Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten juga banjir. Tak kalah parah dari Jakarta. Di saat pemerintah, lembaga-lembaga sosial, ormas dan kelompok-kelompok masyarakat ambil peran untuk membantu korban, ada gerombolan orang yang justru sibuk caci maki, mengumbar kebencian dan memproduksi hoaks. Intinya? Salahin gubernur. Ada juga yang maki-maki Aa Gym. Sentimen agama mulai dimainkan. Sensitif!
Bencana banjir telah memberi peluang para haters untuk melampiaskan dendam politik kepada gubernur. Banjir tiba, mereka ambil peluang untuk beraksi.
Kalau diperhatikan, orang-orangnya ya itu itu saja. Nama-nama yang sudah dikenal publik. Setiap ada isu tentang Jakarta, nama-nama itu muncul. Secara kreatif mereka menulis di Twitter dan produksi video. Siapa? Gak perlu sebut nama. Tanpa sebut nama, mereka telah kehilangan martabat di mata masyarakat. Kasihan!
Lepas dari semua dinamika hoaks, bangsa ini makin jauh dari peradaban dan kesantunannya. Budaya guyub, tepo seliro dan saling menghormati mendadak rusak karena faktor perbedaan politik yang mendapat ruang ekspresinya secara tak beradab di medsos. Dampaknya sangat berbahaya secara moral. Karena merusak tabiat dan pola komunikasi bangsa ini.
Lalu, anda di posisi mana? Ikut partisipasi dan atasi banjir? Atau lebih suka masuk dan ikut gerombolan hoaks? Setiap hari produksi cacian dan makian. Dua pilihan yang akan membedakan mental dan kualitas moral anda.
Jakarta, 3/1/2020
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa