Pemakzulan Konstitusional Jokowi
Pemakzulan Jokowi itu sesungguhnya telah melebihi batas memenuhi syarat. Sudah tak ada satu aral pun yang melintang dan merintangi yang tak berkesuaian dengan kelaikan dan kelayakan hukum konstitusional.
Pertama, terkait tindakan politik cawe-cawe Jokowi dan barusan terang-terangan melakukan pernyataan keberpihakan Jokowi mendukung salah satu paslon itu di Pilpres 2024 telah melanggar sumpah jabatan Presiden yang sepertinya tengah sengaja dilecehkannya.
Ini berarti sama halnya dengan melecehkan kelembagaan Presiden yang melekat di badannya sendiri.
Kedua, tindak pidana kejahatan terkait nepotisme yang dilakukannya di MK turut mempengaruhi lolosnya Gibran putranya sebagai cawapres Prabowo melalui MK yang tak bisa terhindarkan pengaruhnya oleh keputusan Anwar Usman selaku ketua yang memiliki pertalian darah dengan ayahnya dan ipar pamannya.
Ketiga, dugaan adanya tindak kejahatan pidana terkait pemalsuan ijazah yang merupakan persyaratan administrasi menjadikannya seorang Presiden.
Tetapi, kenapa pemakzulan itu tak kunjung bisa terlaksana?
Itu dikarenakan ada kepentingan tarik ulur politik antara cara pemakzulan itu dengan kekuatan people power yang dikuatirkan akan menimbulkan dampak buruk anarkisme yang merusak dan akan memakan korban sekian nyawa. Atau pilihan melalui jalan konstitusional yang aman tetapi cenderung masih terkendala tersumbat.
Pilihan pemakzulan secara konstitusional yang aman itu, seperti kata Rocky Gerung, adanya ketersumbatan itu sesungguhnya hanya tinggal berada di satu tangan Megawati Soekarnoputri.
PDIP selaku pemegang jumlah kursi terbanyak, termasuk Puan Maharani selaku ketua, pun pernah anggota Fraksi PDIP Masinton Pasaribu, mengusulkan inisiasi Hak Angket atas pengangkatan Gibran sebagai Cawapres Prabowo yang sangat kental nepotisme di MK memang, tak pernah digubris dan tak mampu menggerakkan lembaga DPR itu menindaklanjutinya dengan hak-hak fungsionalnya angket, Interpelasi dan atau menyafakan pendapat.
Ini sepertinya membenarkan adanya dugaan kecurigaan bahwa PDIP pun masih tersandera dengan jasa-jasa Jokowi selaku Presiden yang boleh jadi telah memberikan privilis, terutama dalam kerangka bagi-bagi kue fasilitas dan proyek yang sudah dinikmati banyak oleh PDIP. Sehingga, menjadikan PDIP sungkan, alias ewuh pakewuh, sekalipun Jokowi itu tak lebih dari seorang petugas partai.
Atau tersandera oleh dinasti politik okeluarga Megawati sendiri yang sudah —lebih banyak malah— menikmati privilis yang telah diberikan Jokowi. Masuk akal, bukan?!
Atau ini pun kemudian membenarkan pula antitesis jika di PDIP itu ada dugaan melakukan praktik kepentingan politik bunglon, seperti dramaturgi politik kotor (drakor) bahwa dalam Pilpres 2024 dibuat seolah berseberangan dengan Prabowo-Gibran dengan paralel yang dipertontonkan kepada publik semakin kritis mdan merenggang hubungan Jokowi-Megawati.