Pemakzulan Konstitusional Jokowi
Karena itu sudah terbuktikan sekalipun di Pilpres 2019 Prabowo menjadi “musuh bebuyutan” Jokowi, sebegitu mudah Prabowo melakukan rekonsialisi politik elit, yang sesungguhnya tak sepenuhnya disepakati oleh akar-akar rumput pendukungnya.
Dan Prabowo dengan mudahnya mengabsahkannya bahwa dia telah melakukan sesuatu pembenaran seolah rekonsiliasi itu simbol restorasi yang mempersatukan kesatuan kebangsaan yang notabene itu sesungguhnya suatu pembohongan publik belaka.
Jokowi dan Megawati pun bisa seperti itu, saling merangkul dan berpelukan lagi ketika dihadapkan suatu kondisi kritikal yang tak kan terhindarkan bahwa Jokowi melalui boneka kroninya Prabowo-Gibran dan atau Ganjar-Mahfud harus menghadapi kemungkinan kekalahan atas Anies-Muhaimin yang memang tengah diskenariokan tak boleh menang di Pilpres 2024.
Tujuannya boleh jadi hanya dua, keharusan mutlak menang Pilpres demi dan untuk berkelanjutan memegang tampuk kekuasaan dengan berbagi kue kenikmatan materialisme bersama oligarki. Yang sudah pasti akan berdampak kepada penyingkiran keberpihakan kepada rakyat.
Kalaupun ada keberpihakan, itu pun hanya sekedar gimmick politik, dengan cara menghambur-hamburkannya melalui program-program bantuan sosial yang tak seberapa.
Sedangkan, jikalau kalah boleh jadi mereka akan ramai-ramai dan bareng-bareng, adalah sebaliknya akan menikmati penderitaan yang tak terperi, terkungkung dan terkurung lama dan panjang di kamar tahanan prodeo akibat tindak kejahatan pidana yang rata-rata terkategorikan berat seluruhnya bagi mereka.
Jadi, tampaknya Pilpres 2024 ini akan menjadi ajang pertaruhan yang sangat luar biasa bagi mereka dan dengan itu pencapaiannya mutlak harus menang.
Maka, dengan biaya seberapa pun besarnya dengan kompensasi sokongan oligarki itu dan atau dengan bagaimana pun caranya menghalalkan segala kecurangan, keculasan dan kelicikan, sekalipun menabrak konstitusional tak dipedulikannya.
Boleh jadi Pilpres 2024 akan tercatat dalam sejarah tereskalasi bakal melebihi praktik-praktik kecurangan yang telah terjadi di Pilpres-Pilpres sebelumnya.
Ini terbuktikan faktualisasinya betapa secara lebih dini saat masih menjabat Presiden, Jokowi begitu vulgar dan brutal melakukan segala pelanggarannya itu.
Padahal, ketika saluran konstitusional melalui partai-partai politik di Parlemen itu masih terjadi penyumbatan, sesungguhnya masih ada satu peluang untuk pemakzulan secara konstitusional itu melalui lembaga inklusif di DPR itu, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang notabene menjadi komparator yang lebih independen, komprehensif, representatif dan berbobot dikarenakan mewakili segenap potensi daerah-daerah yang berada di seluruh kewilayahan Indonesia.
Maka, ketika komunitas Petisi 100 yang tengah mengajukan usulan pemakzulan yang mandeg dan macet melalui fraksi dan komisi di DPR, tak ada salahnya dicoba untuk bisa berkoordinasi dan bersinergi dengan DPD DPR RI yang diketuai oleh La Nyala Mattaliti mematangkan upaya pemakzulan itu lebih lanjut.