Pemerintah Sebaiknya Berhenti Eksploitasi Isu Radikalisme, Fokus Saja Ekonomi
Ketiga, selain perang dagang berkepanjangan antara Amerika Serikat dengan Cina, kita kini sebenarnya sedang menatap resesi ekonomi global. Sehingga, masyarakat sebenarnya sedang menanti-nanti bagaimana tim ekonomi Pemerintah akan merespon persoalan ini. Tapi, yang disorongkan pemerintahan baru dalam dua minggu terakhir justru isu radikalisme. Ini benar-benar mengecewakan.
Saya berpendapat Pemerintah sebaiknya fokus pada isu ekonomi, terutama bagaimana menghadapi resesi. Sebab, sesudah saya baca kembali, APBN 2020 ternyata sama sekali tak memuat asumsi resesi, sehingga tidak punya rencana mitigasi apapun jika terjadi resesi ekonomi. Lihat saja asumsi makro APBN 2020 yang menetapkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen. Asumsi tersebut sangat tak realistis, karena lebih tinggi dibanding outlook 2019. Padahal, outlook 2019 saja sudah tidak realistis.
Prinsip dasar mitigasi resesi adalah bagaimana meningkatkan daya beli masyarakat, terutama kalangan bawah dan menengah. Tapi belum-belum Pemerintah malah sudah merilis kebijakan yang pasti kian membebani masyarakat, yaitu kenaikan premi BPJS Kesehatan hingga 100 persen. Belum lagi jika tarif listrik juga jadi dinaikkan, daya beli masyarakat akan kian tergerus. Saya tak bisa membayangkan bagaimana rakyat kecil akan bertahan dengan kebijakan-kebijakan kontraproduktif seperti itu.
Saya paham, salah satu kesulitan Pemerintah terkait pengelolaan APBN adalah tak pernah tercapainya target Pendapatan Negara yang ditetapkan. Itu sebabnya Pemerintah seharusnya realistis dalam menyusun anggaran. Rencana-rencana bombastis yang tidak masuk akal dalam jangka pendek, seperti memindahkan ibukota, misalnya, sebaiknya segera dicoret.
Sebagai catatan, rata-rata kenaikan Pendapatan Negara pada periode pertama pemerintahan Presiden SBY, 2005-2009, adalah sebesar 17,56 persen tiap tahun. Namun, dalam lima tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo kemarin, rata-rata kenaikannya hanya 5,73 persen saja. Artinya, Pemerintah harus sadar diri dan segera merasionalisasi mimpinya. Jangan sampai, untuk membiayai belanja yang tak realistis, kita terus-menerus memperbesar utang.
Selama ini Pemerintah sering mengklaim kalau utang kita posisinya aman, karena porsinya masih sekitar 30 persen PDB (Produk Domestik Bruto). Memang, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara memberi batas hingga 60 persen. Namun, undang-undang itu kan disusun pada periode ‘recovery’ sesudah krisis. Sehingga, suasana kebatinannya adalah situasi krisis. Oleh karena itu, asumsi dan parameternya jangan terus-menerus digunakan, meskipun undang-undangnya masih berlaku.
Mestinya yang dijadikan patokan bukanlah rasio utang, tapi kemampuan Pemerintah dalam membayar utang. Salah satu parameternya adalah DSR (debt to service ratio). Di akhir pemerintahan Presiden SBY, DSR kita sebenarnya masih di bawah 25 persen, tapi sekarang DSR ada di angka lebih dari 31 persen. Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, rata-rata penambahan utang Pemerintah setiap tahunnya adalah sebesar 11,7 persen. Laju utang ini sangat kontras dengan laju pertumbuhan ekonomi kita yang hanya limit 5 persen.