Pemimpin dalam Al-Qur’an
Tiap diri adalah pemimpin. Minimal ia harus bisa memimpi dirinya sendiri. Memimpin diri sendiri sangat penting dalam Islam.
Memimpin diri berarti mengendalikan seluruh indra dan raga agar senantiasa taat kepada Allah dan menjauhi larangannya. Jalan ke arah ini tidak mudah. Karena syetan/Iblis selalu menganggu jalan ke arah itu. Selain itu ada nafsu juga yang ikut menghalangi.
Pertarungan dalam diri antara berbuat kebaikan dan kejahatan terus berlangsung di dalam diri orang itu hingga ajalnya. Begitu pentingnya pengendalian diri ini, maka Islam menganjurkan agar kita selalu berdoa dalam setiap aktivitas. Dengan doa maka diharapkan syetan/iblis/nafsu tidak dapat mengganggu kegiatan kita.
Al-Qur’an mengingatkan,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf 53)
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS. Al Furqan 43)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al Baqarah 168)
قَالَ رَبِّ بِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ قَالَ هٰذَا صِرَاطٌ عَلَيَّ مُسْتَقِيْمٌ اِنَّ عِبَادِيْ لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطٰنٌ اِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِيْنَ وَاِنَّ جَهَنَّمَ لَمَوْعِدُهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ
”Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, karena Engkau telah menyesatkanku, sungguh aku akan menjadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi dan sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (karena keikhlasannya) di antara mereka.” Dia (Allah) berfirman, “Ini adalah jalan lurus yang Aku jamin (ditunjukkan kepada hamba-hamba-Ku itu). Sesungguhnya kamu (Iblis) tidak kuasa atas hamba-hamba-Ku kecuali mereka yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang sesat.” Sesungguhnya (neraka) Jahanam benar-benar (tempat) yang telah dijanjikan untuk mereka (pengikut setan) semua.” (QS. al Hijr 39-43)
Setelah bisa mengendalikan dirinya, seorang pemimpin harus bisa mengendalikan keluarganya. Ia harus berbuat sekuat tenaga agar keluarganya bahagia dunia dan akhirat. Seorang pemimpin Islam beda dengan pemimpin kafir. Seorang pemimpin Islam berusaha membawa keluarga dan masyarakatnya ke arah bahagia dunia dan akhirat. Sedangkan pemimpin kafir hanya membawa keluarga dan masyarakatnya kea rah bahagia dunia saja.
Al-Qur’an dengan keras mengingatkan agar pemimpin rumah tangga (suami/istri) menjaga keluarganya dari api neraka,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. at Tahrim 6)
Seorang pemimpin yang gagal menjaga anak dan istrinya dari api neraka, kemungkinan akan gagal pula memimpin masyarakat (negara). Memimpin keluarga tidak mudah. Tiap hari penuh tantangan. Seorang pemimpin (Islam) mesti memperhatikan anaknya shalat atau tidak, anaknya berbuat maksiyat atau taat dan seterusnya. Kalau anaknya berbuat taat kepada Allah, berikan mereka motivasi lebih tinggi atau hadiah. Kalau anaknya berbuat maksiat, ingatkan untuk berhenti dari kemaksiyatan itu.