Pendapat Hamka tentang Kekeramatan Wali
![](https://i0.wp.com/suaraislam.id/wp-content/uploads/2021/08/buya-hamka.jpg?resize=650%2C425&ssl=1)
Ulama Indonesia yang terkenal, Buya Hamka, meragukan cerita-cerita keramat yang mendekati mukjizat yang terjadi pada ulama atau wali. Hal itu diungkapkan Hamka dalam bukunya “Pelajaran Agama Islam.”
Kekeramatan wali ini kebanyakan dongeng, beda dengan mukjizat yang dimiliki para Nabi yang disaksikan masyarakat banyak dan terdapat dalam Al-Qur’an (dan Hadits).
Kata Hamka, ”Tetapi kemudian fasal mukjizat ini telah ditumpangi oleh penganut tasawuf untuk membenarkan ‘keramatnya’ wali-wali. Lalu dimasukkan pula ke dalam “Ilmu Kalam” sebagai tambahan dari soal mukjizat itu, sehingga harus diterima pula sebagai dasar kepercayaan. Sehingga keramat wali-wali digandengkan dengan mukjizat nabi-nabi. Lama-lama penuhlah di dalam kitab-kitab sufi yang terakhir cerita-cerita keramat yang ‘wajib’ dipercayai pula. Meskipun kisah keramat-keramat itu tidak mendapat kesaksian dari orang banyak dan tidak dituliskan oleh Al-Qur’an, sebab dia adalah tambahan di belakang.”
Hamka kemudian menceritakan keramat-keramat wali itu di berbagai wilayah. Hamka menuturkan, ”Ada cerita yang menceritakan bahwa seorang wali setiap hari Jumat selalu thawaf dan sembahyang di Masjidil Haram, walupun beliau berdiam di tanah Jawa! Di Ujung Pandang tersiar cerita tentang keramatnya Syekh Yusuf, di Jawa tentang meramatnya Sunan Bonang, di Aceh tentang keramatnya Syekh Abdur Rauf, dan di Minangkabau tentang keramatnya Syekh Burhanuddin. Jalan cerita sama saja. Yaitu seketika beliau sampai ke Mekah atau sampai ke Madinah, terjadilah perlombaan keramat di antara para wali yang ada di sana. Maka seorang wali menuntut kepada Syekh dari Indonesia itu supaya menyatakan keramatnya. Dia meminta supaya beliau mengeluarkan buah-buahan yang tumbuh di Indonesia pada saat itu juga. Maka beliau keluarkanlah buah durian, atau buah rambutan dari dalam jubahnya. Semasa saya baru di Minangkabau saja, saya mendengar hal ini sebagai keramatnya Syekh Burhanuddin. Tetapi setelah saya sampai ke Aceh, saya dengar pula hal ini tentang Syekh Abdur Rauf. Di Jawa tentang Syekh Sunan Bonang atau Syekh Siti Jenar dan di Ujung Pandang persis serupa ini pula cerita tentang Syekh Yusuf.”
Hamka meragukan cerita-cerita itu karena menurutnya dalam Islam ada ilmu hadits yang menjadi landasan dalam menerima kabar.
Berikut penjelasan Hamka, ”Sebab di dalam agama Islam telah ada suatu ilmu yang mendidik kita supaya sangat berhati-hati mendengar kabar. Didikan itu terdapat pada ‘ilmu-ilmu hadits dan musthalahnya’. Hadits Nabi Muhammad Saw yang beribu-ribu itu disaring sanad (perawi-perawinya) dan matannya, yaitu bunyi hadits itu sendiri. Misalnya sebuah hadits dirawikan oleh si Salim diterimanya daripada si Muslim, dan si Muslim dari si Aslam, dan si Aslam menerima dari seorang sahabat Nabi, dan sahabat Nabi itu mendengarnya sendiri dari mulut Rasulullah. Tiap-tiap pribadi orang itu, si Salim, Muslim, dan Aslam dikaji, apakah dia jujur atau pembohong. Bahkan orang yang sangat jujur pun kadang-kadang menjadi pertimbangan. Sehingga hadits al Hakim tidaklah sama derajatnya dengan hadits Nasai dan Tirmidzi, apatah lagi tidak sama dengan dengan hadits Bukhari dan Muslim. Sebab al Hakim itu terlalu amat jujur, sehingga orang lain disangkanya sejujur dia pula, sehingga kurang diperiksanya pribadi orang yang memberikan hadits itu.
Setelah selesai pemeriksaan sanad, dikaji pula matan. Sehingga walaupun sanadnya telah bagus, kalau matannya berlawanan dengan Al-Qur’an atau dengan Riwayat yang masyhur dari Rasulullah, atau ganjil bunyinya sehingga akal tidak dapat lekas menerima. Belum tentu pula diterima langsung. Misalnya ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa di antara bumi dan langit ini ada seeokor ayam Jantan yang senantiasa berkokok kalau fajar mulai terbit. Mendengar kokok ayam yang hidup di antara bumi dan langit itu, maka berkokok pulalah seluruh ayam Jantan dalam dunia ini. Maka tidaklah kita berdosa kalau dia tidak menerima hadits itu.”
Hamka melanjutkan, ”Kalau sekiranya tidaklah mustahil pada akal seorang wali terbang di udara tanpa sayap, ‘menurut cerita yang didengar’, tidak mustahil pula pada akal bahwa perkataan demikian adalah bohong semata-mata atau tipuan belaka, yang dipergunakan oleh murid-murid yang sangat taklid kepada gurunya untuk memperbesar pengaruh guru itu.
Bahkan ada di antara ulama-ulama besar yang menolak sama sekali akan adanya keramat itu, yaitu al Imam Abu Ishak al Ashfahani, salah seorang pengikut yang terbesar dari paham Imam Abu Hasan al Asyari. Orang Muktazilah pun menolak adanya keramat, kecuali seorang, yaitu Abul Husain al Bashri.”
Akhirnya Hamka menasihatkan umat Islam di zaman kemunduran senang dengan dongeng atau cerita seperti itu, sementara Barat karena menggunakan akal atau hukum sebab akibat, akhirnya menemukan banyak penemuan teknologi.
Kata Hamka, ”Ingatlah bahwa umat Islam di zaman mundurnya telah diselubungi oleh dongeng dan khayal, seumpama permadani terbang, atau Said Abdulkadir Jaelani berkali-kali sembahyang Jumat di dalam dasar Sungai Dajjah, karena ikan-ikan dalam Sungai itu mengirim utusannya sendiri kepada beliau, bermohon supaya beliau mengimami mereka sembahyang. Tidak dibicarakan apakah ikan itu mukalaf, menerima perintah agama dan berakal sebagai manusia juga. Sedang dunia Barat, dapat memakai hukum ‘sebab akibat’ menurut pengaruh ajaran Ibnu Rusyd benar-benar orang telah dapat terbang di udara, dapat disaksikan mata dan dapat dicobakan sendiri. Dan menurut perkembangan pengetahuan terakhir, telah ada kapal selam ‘Nautilus’ yang dapat berhari-hari di dasar laut, karena memakai ilmu hukum sebab akibat dengan memakai tenaga atom. Sudah ada ‘Lunik’ dikirim ke bulan dan sudah sampai manusia mengarungi angkasa luas. []
Nuim Hidayat