Pendapat Hamka tentang Nabi Muhammad Saw Kena Sihir
Ibnu Katsir setelah menyalinkan riwayat ini seluruhnya, membuat penutup demikian bunyinya, “Demikianlah mereka riwayatkan dengan tidak lengkap sanadnya dan di dalamnya ada kata-kata yang gharib dan pada setengahnya lagi ada kata-kata yang mengandung nakarah syadidah (sangat payah untuk diterima). Tetapi bagi setengahnya ada juga syawahid (kesaksian-kesaksian) dari segala yang telah tersebut itu.”
Almarhum orang tua saya dan guru saya yang tercinta, Hadratusy Syekh Dr Abdul Karim Amrullah, dalam tafsir beliau yang bernama al Burhan menguatkan riwayat ini juga. Artinya beliau membenarkan bahwa Nabi saw kena sihir. Dengan alasan hadits ini adalah shahih Riwayat Bukhari dan Muslim.
Dengan menulis begitu beliau membantah apa yang ditulis oleh Syekh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juz Amma. Karena Syekh Muhammad Abduh menguatkan juga seperti yang tersebut di dalam kitab at Ta’wilat, buah tangan Abu Bakar al Asham yang yang telah kita salinkan di atas tadi. Bahwa tidaklah mungkin seorang Nabi atau Rasul atau pun orang yang shalih terkena oleh sihir berdasar firman Allah di atas tadi (al Maidah ayat 67 dan Thaha ayat 69). Bahwa tidak mungkin sihir dapat mengena kepada seseorang kalau Allah tidak izinkan. Dan terhadap rasul-rasul dam nabi-nabi sudah dipastikan oleh Allah, bahwa sihir itu akan gagal, walau dengan cara bagaimanapun datangnya.
Maka penafsir yang sezaman dengan kita ini yang menolak hadits itu, walaupun shahih, ialah Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsir Juzz Amma, al Qasimi dalam Tafsir Mahasinut Ta’wil-nya yang terkenal dan yang terakhir kita dapati ialah Sayid Qutb di dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an menegaskan bahwa hadits ini adalah hadits ahad bukan mutawatir.
Maka oleh karena jelas berlawanan dengan ayat yang sharih dari Al-Qur’an, tidaklah mengapa kalau kita tidak percaya bahwa Nabi Muhammad bisa terkena sihir, walaupun perawinya Bukhari Muslim.
Beberapa ulama besar, di antaranya Imam Malik bin Anas sendiri menyatakan pendirian yang tegas menolak hadits ahad kalau berlawanan dengan ayat yang sharih. Misalnya beliau tidak menerima hadits bejana dijilat anjing mesti dibasuh tujuh kali, satu kali diantaranya dengan tanah. Karena dalam Al-Qur’an ayat yang terang jelas, bahwa binatang buruan yang digunggung anjing dengan mulutnya, halal dimakan sesudah dibasuh seperti biasa, dengan tidak perlu tujuh kali, satunya dengan tanah…
Dan kita cenderunglah kepada pendapat bahwa jiwa seorang Rasul Allah tidak akan dapat dikenai oleh sihirnya seorang Yahudi. Jiwa manusia yang telah dipilih Allah (Musthafa) bukanlah sembarang jiwa yang dapat ditaklukkan demikian saja.
Sebab itu maka pendapat Syekh Thanthawi Jauhari yang menyamakan ruh seorang Rasul dengan ruh manusia biasa, karena sama-sama makan, sama tidur, sama bangun dan sebagainya adalah satu pendapat yang meminta tinjauan lebih mendalam. Dengan kata lain, lemah.[]
Nuim Hidayat
Sumber: Hamka, Tafsir al Azhar (9), Jakarta: Gema Insani, 2017.