Pendidik (Bukan) Beban, Peradaban Islam Memuliakan

Dalam sejarah peradaban Islam, pendidik diposisikan pada tempat yang mulia. Mereka bukan hanya dianggap sebagai orang yang bekerja, melainkan orang yang membimbing akal, hati, dan membentuk arah peradaban umat manusia.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, melainkan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi)
Di era kejayaan Kekhilafahan Abbasiyah, perhatian terhadap pendidik bukanlah sebatas ucapan manis dan sanjungan di panggung-panggung acara. Bayt al-Hikmah berdiri megah di Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia. Para ulama, guru, dan ilmuwan dari berbagai belahan dunia datang untuk mengajar, meneliti, dan menulis karya. Khalifah-khalifah Abbasiyah tidak ragu mengalokasikan anggaran besar untuk menghargai para pendidik di masanya.
Gaji mereka tentu sangat layak, bahkan ada yang melebihi pejabat militer dan penguasa wilayahnya. Mengapa? Karena menjaga akal umat juga merupakan hal yang penting bagi negara. Membentuk generasi berilmu adalah investasi peradaban, dan investasi itu dimulai dengan memuliakan pendidik-pendidiknya.
Ketika Pendidik Dianggap Tantangan Keuangan Negara
Namun perlakuan tersebut saat ini nampaknya berbanding terbalik, termasuk di salah satu negeri Muslim terbesar di dunia. Di tengah beban kerja dan tuntutan profesionalisme yang semakin tinggi, pendidik terkadang diminta ikhlas menerima, meski penghasilan minim adanya. Parahnya, mereka bahkan dianggap seolah-olah menjadi beban negara.
Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) pada KSTI 2025 yang mengatakan bahwa banyak obrolan di medsos yang mengatakan pendidik (dosen atau guru) tidak dihargai karena gajinya kecil, ini menjadi tantangan bagi keuangan negara. Hal tersebut menjadi contoh nyata dari cara pandang sebelumnya. Ucapan itu mungkin terdengar ringan bagi yang mengucapkannya, namun berat bagi mereka yang setiap hari perlu berjuang untuk mencerdaskan generasi bangsa.
Menkeu juga mengatakan bahwa persoalan rendahnya gaji pendidik tersebut menimbulkan pertanyaan. Apakah semuanya harus dari keuangan negara atau ada partisipasi dari masyarakat (gotong-royong)?
Apakah pendidik tidak memahami kondisi keuangan negara? Saya kira paham. Selanjutnnya kita bertanya: mengapa pendidik diminta mengerti, sementara di sisi lain, anggaran belanja negara untuk hal-hal yang lainnya justru tetap tak kalah tinggi?
Jika kita belajar dari sejarah peradaban Islam yang memuliakan pendidik melalui kebijakannya yang ril, tentu kondisi ini bisa kita anggap sebagai sebuah kemunduran. Di masa itu, pendidik merupakan aset yang amat diprioritaskan. Saat ini kondisinya seolah berbeda 180 derajat, mereka seolah dianggap menjadi beban pengeluaran negara yang anggarannya harus dihemat.
Pelajaran dari Peradaban Islam
Sejarah Islam memberikan setidaknya tiga pelajaran penting tentang bagaimana memberikan penghargaan yang layak kepada pendidik:
Hak Kesejahteraan
Umar bin Khattab pada masanya memberikan tunjangan tetap kepada para pengajar Al-Qur’an, memastikan mereka tidak harus mengorbankan waktu mengajar demi mencari nafkah tambahan lainnya. Kesejahteraan ini membuat mereka bisa fokus membina generasi yang ada.
Penghormatan Sosial
Pendidik tidak sekadar dihormati di dalam ruang-ruang belajar, namu juga di masyarakat. Mereka dihadirkan dalam musyawarah penting dan pendapatnya dijadikan pertimbangan dalam menentukan kebijakan negara.