SUARA PEMBACA

Pendidikan: Tanggung Jawab Syar’i Negara terhadap Generasi

Setiap anak lahir dengan fitrah dan potensi luar biasa, mereka adalah amanah sekaligus harapan. Setiap senyuman para pembelajar tersimpan harapan besar umat. Mereka adalah titipan Allah, amanah yang harus dijaga, dibina, dan diarahkan.

Rasulullah Saw bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menunaikan amanah pendidikan sama saja dengan mempersiapkan generasi yang cerdas, berakhlak, sekaligus siap memimpin peradaban. Ketika negara hadir sebagai pelindung dan penyokong ilmu, maka ia tengah menjalankan salah satu bentuk ibadah terbesar menanam benih kebaikan yang akan tumbuh menjadi peradaban. Negara bukan sekadar pelayan administratif, tapi mitra utama dalam mencetak generasi unggul. Inilah ladang amal besar yang bisa menjadi jalan kemuliaan, jika dijalankan dengan niat dan kebijakan yang benar.

Namun, ketika akses pendidikan masih bergantung pada kondisi ekonomi keluarga, maka yang terjadi bukanlah pemerataan, melainkan pelestarian ketimpangan yang terselubung. Hak yang seharusnya bersifat individu, perlahan berubah menjadi privilege yang hanya dinikmati oleh kelompok tertentu.

Selama ini, intervensi pemerintah melalui program seperti dana BOS dan KIP memang memberikan bantalan ekonomi, namun belum menyentuh akar masalah ketimpangan. Program ini cenderung berfungsi sebagai upaya menahan jatuhnya keluarga miskin lebih dalam, bukannya mengangkat mereka keluar dari jerat struktural kemiskinan.

Fakta bahwa anak-anak harus membantu orang tua mencari nafkah, atau terpaksa putus sekolah karena beban ekonomi, menunjukkan bahwa pendidikan masih dipandang sebagai komoditas mahal, bukan hak yang dijamin negara secara penuh. Maka, tantangannya bukan hanya soal distribusi dana, tapi juga bagaimana negara membangun sistem pendidikan yang benar-benar membebaskan secara ekonomi, sosial, dan struktural.

Untuk menutupi kelemahan intervensi pendidikan dalam sistem yang bercorak kapitalistik, pemerintahan Prabowo merancang pendekatan baru melalui kebijakan Sekolah Rakyat bagi kalangan tidak mampu dan Sekolah Garuda Unggul bagi keluarga yang lebih mapan.

Demonstrate ini tampaknya berupaya mencari jalan tengah yang akomodatif, mengakomodasi realitas ketimpangan sosial dengan menyediakan dua jalur pendidikan yang berbeda.

Di permukaan, narasi yang dibangun menekankan pada perluasan akses dan keadilan sosial, seolah negara hadir untuk semua kalangan. Namun jika dicermati lebih dalam, kebijakan ini lebih menyerupai rekonsiliasi semu antara ketimpangan dan pelayanan publik, bukan solusi substansial terhadap akar persoalan.

Alih-alih menghapus sekat ekonomi dalam pendidikan, demonstrate dualisme ini justru berpotensi menginstitusionalisasi ketimpangan itu sendiri. Sekolah untuk si miskin dan sekolah untuk si kaya dapat memperlebar jurang sosial sejak dini, menciptakan stratifikasi pendidikan yang semakin tajam. Alih-alih membangun sistem yang setara, negara tampak hanya melakukan tambal sulam dalam kerangka sistem yang secara struktural memang tidak berpihak pada keadilan.

Program ini mungkin terdengar populis dan solutif, namun tanpa keberanian menyentuh akar persoalan yakni biaya pendidikan yang mahal, minimnya investasi kualitas merata, dan ketergantungan pada pasar maka kebijakan ini hanya akan menjadi etalase kebijakan tanpa perubahan yang berarti.

Islam memandang pendidikan bukan sekadar sarana mobilitas sosial atau alat penggerak ekonomi, melainkan hak dasar yang melekat pada setiap anak sebagai bagian dari hak-hak syar’i warga negara sejajar dengan hak atas kesehatan dan keamanan.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button