Pendulum Terorisme Kembali Berayun, Ada Apa?
Penangkapan tiga ulama di Bekasi menggemparkan publik. Tak ada angin, tak ada hujan, tetiba tiga ustaz yang sudah dikenal baik oleh masyarakat digelandang Densus 88 sebagai terduga teroris. Media pun ramai-ramai membincangkannya tiada henti. Tiga ulama yang ditangkap ialah Ustaz Farid Ahmad Okbah, Dr. Ahmad Zain An-Najah, dan Dr. Anung Al Hamat.
Di antara ketiganya, ada yang menjadi Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat. Tak ayal, wacana pembubaran MUI mengemuka. Alasannya, karena MUI sudah menjadi sarang teroris. Perang tagar pun menggema di jagat maya. Tagar #dukungMUI dan #bubarkanMUI memuncaki trending topic di twitter.
Publik juga mengritik cara Densus 88 menindak para terduga dinilai tak sesuai prosedur hukum. Sebab, rekam jejak Densus 88 dalam melakukan penindakan dan pencegahan tindak terorisme lebih banyak melanggar hak asasi manusia. Dibawa dalam kondisi sehat, pulang ke rumah sudah menjadi mayat, seperti kasus Siyono beberapa waktu silam.
Pada November lalu, Anggota Komis I DPR RI, Fadli Zon pernah mengritik kinerja Densus 88 yang lebih terkesan berbau Islamofobia. Ia mengatakan Densus 88 hanya sibuk menyita kotak amal yang diduga untuk mendanai kepentingan kelompok teroris. Tidak hanya itu, Fadli juga mempertanyakan Densus 88 yang setiap hari menangkap terduga terorisme, namun tidak jelas alasan dan tujuan mereka yang diringkus.
Tersisa satu pertanyaan mengganjal pikiran kita, ada apakah di balik penangkapan para ulama ini?
Narasi Terorisme
Bak gayung bersambut, penangkapan tiga ulama umat seakan menjadi momentum bagi pembenci Islam untuk mengayunkan pendulum kebenciannya kepada Islam dan pemeluknya. Nyanyian terorisme kembali berkumandang. Setiap ada narasi terorisme, pasti ada pihak yang tertuduh dan terstigma negatif, siapa lagi kalau bukan Islam?
Mencermati penangkapan tiga ulama dan secepat kilat menjadi tersangka teroris, setidaknya ada beberapa catatan dalam hal ini:
Pertama, upaya mengriminalisasi ulama. Kecurigaan ini bukanlah tanpa dasar. Berdasarkan kesaksian keluarga, ketiga ulama ini sama sekali tidak ada indikasi terlibat jaringan teroris, perangainya lembut, aktivitasnya pun hanya berdakwah, mengajar, dan membina umat agar akidahnya tidak tersesat. Lagipula, kriminalisasi terhadap ulama bukan kali pertama terjadi. Ada IB HRS yang dijerat kasus kerumunan, Ustaz Alfian Tanjung yang ceramahnya dituduh radikal, dan terakhir Munarman yang dituduh dengan hal sama.
Meski Polri membantah tidak ada kriminalisasi ulama, sulit rasanya untuk mempercayainya. Sebab, kinerja Polri memang terkesan berat sebelah. Untuk urusan terorisme gercep dan begitu mudah menelusuri jejak gerakan dan dana terorisme. Namun, dalam hal pelacakan terhadap keberadaan satu orang koruptor seperti Masiku saja berlarut-larut. Jadi, jangan salahkan bila kepercayaan rakyat terhadap lembaga penegak hukum semakin rontok. Terlebih, perlakuan Densus 88 terhadap terduga tak mengindahkan asas praduga tak bersalah. Brutal dan kasar.