LAPSUS

Pengakuan Palestina: Cara Para Pemimpin Barat ‘Jaga Muka’?

Meskipun merupakan keputusan bersejarah, pengakuan Palestina oleh negara-negara Barat harus dibarengi dengan langkah nyata, kata para analis.

Namun, sebagian analis berpendapat bahwa pengakuan ini hanyalah cara para pemimpin Barat “menjaga muka” di tengah tekanan domestik.

“Mereka menghadapi tekanan dari kelompok pro-Israel sekaligus dari konstituen mereka sendiri yang semakin vokal menuntut penghentian genosida,” kata Abu Rass.

“Tidak ada yang benar-benar berubah. Ini reaksi lambat terhadap ketidakpuasan yang makin besar, dan langkah ini bisa dilihat sebagai cara murah untuk memenuhi tuntutan publik.”

Perdana Menteri Inggris Keir Starmer sendiri pada Juli lalu mengatakan akan mengakui Palestina kecuali Israel mengambil “langkah substantif” untuk mengakhiri perang di Gaza. Pada Minggu, Starmer menyatakan bahwa pengakuan ini adalah respons atas realitas politik di Israel dan Palestina saat ini.

Australia pun memberi syarat: PM Anthony Albanese menekankan bahwa langkah selanjutnya, termasuk pembukaan kedutaan, bergantung pada kemajuan otoritas Palestina dalam reformasi.

Beban sejarah Inggris

Lebih dari seabad lalu, Inggris menandatangani Deklarasi Balfour (1917) yang mendukung “tanah air nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina. Sejak itu, Inggris menjadi sekutu penting Israel. Karena itu, pengakuan Palestina juga dipandang sebagai pengakuan atas keterlibatan Inggris dalam pengusiran dan perampasan tanah rakyat Palestina.

“Inggris memikul beban tanggung jawab khusus untuk mendukung solusi dua negara,” kata Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy di PBB, Juli lalu.

Namun, banyak analis pesimis bahwa masa depan akan berbeda dari 100 tahun terakhir.

“Bahkan jika Palestina diakui oleh semua negara di dunia, sedikit yang akan berubah kecuali pendudukan Israel benar-benar dibongkar,” kata Abu Rass.

“Tekanan internasional memang punya peran, tetapi harus melampaui sekadar pengakuan—termasuk sanksi, pemutusan hubungan diplomatik, pengadilan bagi penjahat perang, dan boikot budaya.” []

Justin Salhani, Al Jazeera

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button