Pengunjuk Rasa Ditembaki, Dunia Kutuk Kudeta Militer Sudan
Pasukan Kebebasan dan Perubahan, koalisi oposisi utama Sudan, menyerukan pembangkangan sipil dan protes di seluruh negeri dan menuntut agar dewan militer transisi mentransfer kekuasaan kembali ke pemerintah sipil.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Ned Price pada Senin mendesak pemulihan segera pemerintahan sipil. “Pemerintah transisi yang dipimpin sipil harus segera dipulihkan dan mewakili kehendak rakyat,” katanya kepada wartawan.
“Mengingat perkembangan ini, Amerika Serikat menghentikan bantuan yang dimaksudkan untuk dukungan ekonomi,” katanya. Amerika Serikat telah mengalokasikan $700 juta untuk mendukung transisi demokrasi negara itu.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan pembebasan segera perdana menteri Sudan dan semua pejabat lainnya.
“Saya mengutuk kudeta militer yang sedang berlangsung di Sudan. Perdana Menteri Hamdok dan semua pejabat lainnya harus segera dibebaskan. Harus ada penghormatan penuh terhadap piagam konstitusional untuk melindungi transisi politik yang diperoleh dengan susah payah. PBB akan terus mendukung rakyat Sudan,” tulis Guterres di Twitter.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kekerasan dan pertumpahan darah harus dihindari dengan segala cara di Sudan.
“Inggris mengatakan kudeta militer di Sudan adalah “pengkhianatan yang tidak dapat diterima terhadap rakyat Sudan” dan meminta pasukan keamanan di sana untuk membebaskan Hamdok.
Ketua Komisi Uni Afrika Moussa Faki Mahamat menyatakan “kecemasan mendalam” tentang situasi politik yang bergejolak di Sudan. Dalam sebuah pernyataan yang diposting di akun Twitter komisi, Mahamat mengatakan dia khawatir dengan perkembangan yang menyebabkan penangkapan Hamdok dan pejabat sipil lainnya.
Sekretaris Jenderal Liga Arab, Ahmed Aboul Gheit, mendesak semua pihak untuk “sepenuhnya mematuhi” deklarasi konstitusional yang ditandatangani pada Agustus 2019, yang bertujuan untuk membuka jalan bagi transisi ke pemerintahan sipil dan pemilihan demokratis.
Red: Agusdin/Aljazeera