Penistaan Suara Azan di Tengah Fenomena Islamofobia
Pada masa Rasulullah Saw, kumandang merdu suara azan telah di contohkan pertama kali oleh sahabat Rasulullah Saw, bernama Bilal bin Rabbah. Bilal menjadi muazin karena suara merdunya yang mampu membuat orang tergugah untuk segera menunaikan salat. Bukan tanpa alasan, tugas mulia ini didapatkan berkat keteguhan iman Bilal kepada Allah SWT. Saat Bilal menjadi muazin, para sahabat dan orang-orang di sekitar yang mendengarkan azan itu, semuanya menitikkan air mata (Kisah-Kisah Inspiratif Sahabat Nabi).
Azan secara bahasa bermakna al i’lam yang artinya pengumuman atau pemberitahuan, sebagaimana dalam firman Allah SWT “Dan pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia di hari haji akbar bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kaum musyrikin…..” (QS. At Taubah : 3). Adapun secara istilah syar’i, azan adalah panggilan masuknya waktu shalat dengan lafaz-lafaz yang khusus. (Lihat kitab Al Mughni, 2: 53, Kitabush Shalat, Bab Adzan. Dinukil dari Taisirul Allam , 78).
Azan merupakan panggilan suci yang mengajak setiap muslim untuk menghadirkan suasana batinnya mengingat kepada Tuhannya, Allah Azza wa Jalla. Allah dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, menghendaki agar Azan tidak hanya menjadi panggilan dan peringatan untuk salat, tetapi juga untuk membentuk bagian dari implementasi fundamental Islam, yakni kesaksian terhadap keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad serta pelaksanaan ibadah paling utama, yakni salat. Keutamaan azan dan ikamah banyak dijelaskan di dalam hadis Nabi. Di antaranya, “Seandainya orang tahu keutamaan azan maka semua orang pasti berlomba-lomba menjadi muazin” ( HR. Bukhari, Muslim).
Lantas, mengapa tiba-tiba ada seseorang yang lancang mempermasalahkan azan dengan menganggapnya sebagai sumber kebisingan? Bahkan mengistilahkan azan dengan kalimat yang tak pantas. Seperti yang ramai dikabarkan tentang pernyataan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, yang mengistilahkan bisingnya pengeras suara masjid (sepiker) dengan suara anjing menggonggong, sebagaimana penuturannya yang diutarakan dalam penjelasan Surat Edaran (SE) No. 5 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Pernyataannya pun menggema di jagat maya menuai polemik, bahkan hashtag #TangkapYaqut menjadi tranding. Hal ini sangat disayangkan oleh banyak pihak, mengapa azan yang disoroti dan sampai hati menyamakan dengan suara anjing. Statement tersebut bahkan terlontar dari lisan seorang Menteri Agama yang notabenenya adalah seorang muslim. Sungguh miris, tentu perkataannya sangat melukai perasaan umat Islam.
Azan merupakan seruan yang mulia, kini dinistakan oleh oknum umat Islam sendiri. Padahal panggilan azan sudah biasa dikumandangkan setiap kali waktu shalat, terlebih Indonesia ini adalah negeri berpenduduk mayoritas muslim, tapi mengapa azan ini dipermasalahkan? Lagi-lagi menandakan Islamofobia di negeri ini makin akut, bertambah hangat ketika isu ini digoreng oleh media. Inilah buah dari diterapkannya sistem kapitalisme dan sekulerisme. Dalam sistem sekuler, semua hal yang berbau Islam seakan menjadi permasalahan. Syariat Islam sudah berhasil dijauhkan dari ranah politik dan hukum, kini urusan ibadah yang merupakan wilayah privasi, ikut pula dipersoalkan.
Banyak orang diluar Islam yang gerah dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan mereka berani menista Islam, termasuk merecoki panggilan azan. Sungguh, saat ini kita hidup di akhir zaman yang penuh dengan fitnah. Kebenaran dianggap sebagai kesalahan, orang waras dianggap orang bodoh, orang jujur dianggap sebagai pendusta dan pendusta dianggap sebagai orang yang jujur. Semoga kita termasuk bagian dari orang-orang yang tertunjuki jalan yang benar oleh sang Illahi Rabbi. Aamiin.
Ahsani Annajma, Penulis dan Pemerhati Sosial.