Penuhi Hari-hari Kita dengan Istighfar
Tiada waktu dan hari yang memiliki keutamaan kecuali waktu dan hari hari penuh dengan aktivitas ibadah. Dimana lisan selalu diisi dengan istighfar penuh dengan tobat.
Selalu terbiasa dengan amal shalih meskipun sedikit tetapi rutin kontinu setiap hari, bisa dari tilawah, sedekah, membantu orang, mendoakan kebaikan buat saudaranya dan lain-lain.
Selalu merasa khawatir jika tertinggal shalat berjamaah di masjid menjadi ukuran iman seseorang untuk senantiasa membuat hari kehari semakin berkualitas ibadahnya. Tidak bisa berbuat kebaikan terlewat sehari, menjadi bentuk kegelisahan yang membuat sulit untuk bersuka cita, hati merasa sedih terlewatnya amal kebaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak beristighfar dan bertobat padahal beliau adalah orang yang telah diampuni dosa yang telah lalu dan akan datang.
Walaupun dosa-dosa beliau telah diampuni, namun beliau shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak beristighfar di setiap waktu. Para sahabat telah menghitung dalam setiap majelisnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat paling banyak beristighfar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهِ إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
“Demi Allah. Sungguh aku selalu beristighfar dan bertobat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai sekalian manusia. Tobatlah (beristighfar) kepada Allah karena aku selalu bertobat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim)
Kalau kita berapa kali istighfarnya dalam sehari? jangan-jangan lebih sering dengerin musik, main game atau ngobrol tanpa makna dari pada melakukan amal mulia tersebut.
Setan membuat pede akan dosa dosa yang bertumpuk akan Allah Ta’ala ampuni, begitu yakin dengan segala amal sholih yang sudah dikerjakan sehingga enggan dan berat lisan ini berucap istighfar.
Selesai shalat saja diperintahkan untuk beristighfar, padahal shalat adalah amal ibadah yang utama penuh kebaikan, lalu bagaimana dengan pekerjaan yang sekedar urusan dunia, mestinya harus lebih banyak lagi.
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,
كَانَ فِى لِسَانِى ذَرَبٌ عَلَى أَهْلِى لَمْ أَعْدُهُ إِلَى غَيْرِهِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
“Dulu lisanku biasa berbuat keji kepada keluargaku. Namun, aku tidaklah menganiaya yang lainnya. Kemudian aku menceritakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيْنَ أَنْتَ مِنَ الاِسْتِغْفَارِ يَا حُذَيْفَةُ إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ
“Mana istighfarmu, wahai Hudzaifah? Sesungguhnya aku selalu beristighfar kepada Allah setiap hari sebanyak 100 kali dan aku juga bertobat kepada-Nya.” (HR. Ahmad)
Coba kita perhatikan kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang setiap waktunya, hari harinya selalu diisi dengan istighfar bahkan sampai akhir hayat hidupnya pun beliau tidak lepas dari amalan tersebut. Sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengakhiri amalan-amalan sholihnya seperti shalat, haji, shalat malam dengan istighfar, beliau juga mengakhiri hidupnya dengan istighfar.
Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang sudah dijamin dosanya yang telah lalu dan akan datang akan diampuni, bagaimana lagi dengan kita yang tidak dijamin? Sungguh, kita sebenarnya yang lebih pantas untuk bertaubat dan beristighfar setiap saat karena dosa kita yang begitu banyak dan tidak pernah bosan-bosannya kita lakukan.
Wallahu a’lam
Abu Miqdam
Komunitas Akhlaq Mulia