Penyerbuan ke Al-Aqsha yang Terus Dilakukan Picu Perang Agama
Al-Quds (SI Online) – Wakil Direktur Jenderal Wakaf al-Quds dan Urusan Masjid al-Aqsha, Najih Bakirat, mengatakan bahwa apa yang terjadi di Masjid al-Aqsha adalah awal dari perang agama, yang awalnya bisa diketahui akan tetapi kapan berakhir tidak diketahui. Dia menegaskan bahwa perang ini tidak akan pernah menjadi maslahat bagi penjajah Israel.
Dilansir Pusat Informasi Palestina, Rabu (27/10), Bakirat menegaskan bahwa penyerbuan-penyerbuan dan ritual-ritual Taurat dengan sendirinya akan mengubah realitas budaya dan menciptakan sebuah kota Yahudi, terutama adalah kuil yang mereka klaim berada di atas reruntuhan Masjid al-Aqsha.
Dia menjelaskan bahwa penyerbuan-penyerbuan ke Masjid al-Aqsha yang dilakukan oleh kawanan pemukim pendatang Yahudi adalah perang sistematis yang dimulai secara bertahap sejak tahun 1967. Ketika itu tidak lebih dari 10 orang melakukan penyerbuan selama “masa pariwisata”.
Dia menyatakan bahwa pendudukan Israel secara bertahap memaksakan kenyataan ini setelah Ariel Sharon menyerbu Masjid al-Aqsha, di mana Gerbang Mughrabi di barat masjid berada di tangan polisi penjajah Israel. Dan mulailah kelompok-kelompok besar masuk ke masjid hingga tahun 2015, ketika jenis penyerbuan berubah dengan penyerbuan jenis baru, baik oleh anggota Knesset atau pemimpin-pemimpin ekstremis Yahudi dan lain-lain.
“Penyerbuan-penyerbuan secara bertahap meningkat sampai ribuan penyerbu masuk pada beberapa hari.” kata Bakirat.
Dia mengingatkan bahwa apa yang terjadi ini adalah perang sistematis yang memiliki latar belakang dan dimensi. Di antaranya adalah bahwa penyerbuan-penyerbuan tersebut bertujuan untuk membuktikan dan meneguhkan hak bagi kaum Yahudi di Masjid al-Aqsha, selain itu juga untuk mewujudkan kesakralan Yahudi di tempat ini. Padahan situs ini tidak bisa dibagi dua, juga tidak bisa didialogkan atau dinegosiasikan.
Dia menyatakan bahwa penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan penjajah Zionis tersebut menghadapi perlawanan yang sangat besar dari warga al-Quds, yang menyebabkan ribuan warga al-Quds ditangkap, gugur dan dideportasi.
Dia mengatakan bahwa pendudukan Zionis mengeksploitasi kelemahan Arab dan regional dan negara-negara besar yang munafik, yang memihak kepada narasi Taurat dan kepada para algojo dengan mengorbankan rakyat Palestina yang menjadi korban.
“Perubahan-perubahan ini dimulai sejak tahun 2000, ketika sikap internasional dan sikap bangsa-bangsa mulai menurun, khususnya yang menolak terhadap segala hal yang terjadi di Masjid al-Aqsha.” ungkap Bakirat.
“Setelah pertempuran Saif al-Quds, pandangan beberapa negara telah berubah dan bergeser pada apa yang dilakukan oleh negara pendudukan Zionis dari tindakan intimidasi ke perang agama,” tambahnya.