Perampok dan Dukun Takluk di Hadapan Rasulullah Saw

Pekat kejahiliahan sirna dengan secercah cahaya iman
Cahaya yang hidup dalam jiwa yang berserah diri pada-Nya
Assabiqunal awwalun adalah para shahabat Rasulullah Saw yang spesial. Lantaran mereka beriman saat Islam dalam keadaan asing dan dakwah Rasulullah Saw baru bertunas. Mereka tetap berpegang teguh pada keimanan saat pendustaan, hinaan, tekanan dan siksaan mewarnai hari demi hari kehidupan Islam. Bukanlah keadaan yang mudah. Tapi cahaya Islam telah terinternalisasi dalam akal dan kalbu serta mengakar kuat. Hal inilah yang menuntun keistiqamahan mereka sampai akhir hayat walaupun harus memegang bara api.
Ada dari assabiqunal awwalun yang latar belakang kehidupan sebelum Islam sangat kelam. Mereka berjibaku dengan kejahilian. Tapi justru kelamnya masa lalu menjadikan mereka mengenal kebatilan dan melepaskannya tanpa keraguan. Siapakah mereka?
Perampok yang Insyaf
Dalam kegelapan malam, dirinya beraksi. Harta kafilah niaga yang melewati kabilahnya menjadi sasaran. Ya merampok dan membegal adalah sumber pemenuhan kebutuhan perut dirinya dan mayoritas kabilahnya. Temperamen tinggi acapkali menjadikan tangannya berlumuran darah korban keganasannya.
Walaupun begitu dia tak mau menyembah berhala yang menjadi sesembahan masyarakat jahiliah. Dia mengakui kekuasaan dan kebesaran Tuhan Yang Esa. Dia sering bertafakur tentang alam semesta untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman jiwa. Dalam kebrutalan profesinya, sebenarnya dia merindukan kehidupan yang penuh cinta dan persaudaraan.
Hingga desas desus viral di Mekkah akan kedatangan Nabi terakhir sampai ke telinganya. Rasa penasaran membuncah jiwanya yang menginginkan kebenaran. Hanya dengan bekal kantong kulit dan sebatang tongkat dirinya sendirian bertolak menuju Mekkah. Tak punya kerabat sama sekali, menjadikan dirinya selama 30 hari hidup tanpa makanan kecuali air zam-zam. Tapi dirinya tetap bertahan demi bertemu dengan sang pembawa kebenaran.
Dahaga akan kebenarannya hilang saat bertemu dengan Rasulullah Saw. Tak ada keraguan sama sekali akan kebenaran ucapan Rasulullah Saw dalam menjelaskan Islam. Seketika itu juga dirinya menyatakan keimanan. Keyakinan akan kebenaran memantik karakter keberaniannya untuk menyatakan keimanan secara terbuka pada khalayak Quraisy di depan Ka’bah. Dilakukannya secara berulang kali, walaupun berulang kali juga dirinya dipukuli sampai babak belur.
Ketawadhuannya dipuji kekasihnya Rasulullah Saw seperti ketawadhuan Nabi ‘Isa as. Beliau Saw sangat mencintainya karena sikapnya yang menepati janji, jujur dan zuhud. Kecintaannya pada Islam dibuktikan dengan pengorbanan dalam dakwah yang begitu luar biasa. Berkat dakwahnya penduduk kabilah Ghifar berbondong-bondong menghadap Rasulullah Saw menyatakan keislaman. Siapakah dia? Ya dialah Abu Dzar al Ghifari.
Dukun yang Bersyahadat
Dia mendengar dan mempelajari seksama perkataan para peramal, penyihir dan penyair. Dunia klenik dan ilmu hitam pun dilakoninya. Kehebatannya dalam menyembuhkan penyakit ar-riih (gila atau kerasukan jin) masyhur di kalangan orang-orang Arab.
Pada musim haji, dia sengaja meninggalkan Azdisyanudah (Yaman) tempat tinggalnya menuju Mekkah untuk beribadah dan berdagang. Kedatangannya disegani dan disambut penduduk Mekkah. Tapi disertai dengan propaganda massif yang mengatakan Muhammad Saw gila.
Muncul rasa penasarannya pada si ‘gila’. Selama dirinya mengobati penyakit gila tak ada kehebohan penduduk dalam menanggapi orang gila. Mengapa si ‘gila’ jadi bahan permbicaraan yang ditakuti penduduk Mekkah. Keinginan untuk menyembuhkan penyakit pada si ‘gila’ membawanya bertemu dengan Rasulullah Saw.
Dia mengutarakan maksudnya secara sopan pada Rasulullah Saw untuk mengobati Beliau Saw dengan mantra-mantra. Rasulullah Saw tak tersinggung terhadap ‘tuduhan’ gila dari dirinya. Rasulullah Saw pun menanggapinya dengan berkata: