Perkuat Hubungan RI dengan Turki, HNW: Tapi Tidak dengan Jadikan Attaturk Nama Jalan
“Karenanya kalau nama Soekarno akan dipakai di Ankara Turki, sebagaimana sudah dipakai di Rabath Maroko, wajar saja, karena jasa-jasa Bung Karno seperti dengan adanya Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok. Kalaupun Kemal Ataturk, dengan Kemalismenya yang sekuler liberal dan anti demokrasi itu dinilai banyak jasanya pada sejarah Turki modern, ya itu adalah untuk Turki, tapi tidak untuk Indonesia, karena Kemalisme (ajaran Attaturk) itu tidak sesuai dengan Pancasila dan warisan kenegarawanan Bung Karno, yang demokratis, menghormati Agama dan tidak sekuler liberal,” tambah HNW.
Oleh karenanya, HNW kembali menegaskan dukungannya untuk penguatan hubungan Indonesia dengan Turki, tetapi seharusnya hubungan yang baik antara Turki dan Indonesia itu ditingkatkan dengan berbagai terobosan positif, tidak malah diciderai dengan wacana penamaan jalan yang kontroversial seperti ini.
“Karena saya juga tidak yakin bahwa pihak Pemerintah Turki lah yang mengusulkan nama Kemal Pasya Ataturk untuk nama jalan di Jakarta ibu kota Indonesia. Karena pastilah Pemerintah Turki di bawah Erdogan menghormati Indonesia dan sejarah perjuangan Indonesia yang tidak sekuleristik liberal apalagi anti agama Islam, sebagaimana ditampilkan oleh Attaturk,” ujarnya.
Apalagi, jelas HNW, Presiden Turki Rajab Tayyib Erdogan justru adalah tokoh bangsa Turki yang di berbagai acara internasional selalu menyerukan penolakan terhadap Islamophobia, suatu perilaku yang nampak jelas dalam jejak sejarahnya Kemal Pasya Attaturk.
“Ini yang mestinya dipahami dan disampaikan oleh pihak Indonesia, seperti Wagub DKI, Dubes di Ankara dan lainnya. Pemberian nama jalan, hendaknya menjadi salah satu cara untuk dapat meningkatkan hubungan dan menguatkan kerjasa sama yg saling menguntungkan, maka akan jadi kontra produktif bila yang diajukan adalah nama yang kontroversial, seperti Kemal Pasha Ataturk, dan jadi bahan polemik berkepanjangan, apalagi yang sampai dirasakan sebagai mengabaikan aspirasi banyak pihak termasuk tokoh-tokoh Betawi yang juga bisa menyakiti perasaan kolektif umat Islam di Jakarta (Indonesia), pihak yang telah turut berjuang hadirkan kota Jakarta, yang menjadi ibu kota Republik Indonesia,” pungkasnya.
red: adhila