Perlukah Proklamasi Kemerdekaan Ketiga?
“Kemerdekaan Kedua, Perlukah?” Itulah judul artikel yang pernah saya tulis di Harian Kompas, tahun 2001. Artikel itu saya tulis, menanggapi tulisan Dr. Rizal Ramli di Harian Kompas, 26 Desember 2001, yang berjudul: “Krisis Argentina dan Indonesia Mei 1998, Korban Kebijakan IMF”.
Dalam artikelnya itu, Rizal Ramli membuat catatan penutup, “Pada awal abad ke-21 ini, sudah waktunya bangsa kita menyatakan diri untuk bertekad melakukan “Gerakan Kemerdekaan Kedua”, sehingga dapat menjadi bangsa maju dan besar di Asia. Jika tidak, bangsa ini hanya akan menjadi permainan negara-negara maju dan hanya akan menjadi nation of coolies and coolies among nations. Soekarno dan Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secara politik pada 17 Agustus 1945, sudah saatnya memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia berani menyatakan diri merdeka secara ekonomi.”
“Kemerdekaan Kedua” yang dilontarkan Rizal Ramli itu perlu kita renungkan, mengingat jumlah Utang Luar Negeri kita yang terus meningkat! Rizal Ramli mengusulkan perlunya proklamasi Kemerdekaan Kedua, terkait dengan kemandirian ekonomi yang dilihatnya semakin menjauh.
Pada 17 Agustus 2021 ini, Indonesia merayakan Kemerdekaannya yang ke-76. Usia 76 bukan lagi usia muda. Seharusnya negara sudah matang. Melihat kondisi negara saat ini, dalam berbagai bidang – bukan hanya aspek ekonominya – maka patut dipikirkan agar para tokoh bangsa Indonesia untuk bersepakat melaksanakan menggemakan Proklamasi Kemerdekaan Ketiga.
Perlukah itu dilakukan? Mengapa ketiga? Silakan dipikirkan! Sebelumnya, sudah ada dua Proklamasi Kemerdekaan. Pertama, adalah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kedua, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1950. Dan ketiga, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 2021?
Seperti ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan kita memproklamasikan kemerdekaan Indonesia adalah untuk: “… mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Secara fisik kita sudah merdeka; tentara penjajah sudah pergi. Perjuangan mengusir tentara penjajah bukanlah hal mudah. Bahkan, setelah kita merdeka pun, penjajah masih ngotot kembali ke negara kita dengan kekuatan ratusan ritu tentara. Itu masih ditambah tentara laskar-laskar lain yang pro penjajah. Tapi, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, kita bisa merdeka.
Tapi, setelah penjajah pergi secara fisik, patut kita bertanya: “Apakah kita sudah benar-benar berdaulat; apakah kita sudah benar-benar bersatu; apakah kita sudah benar-benar berhasil mewujudkan negeri yang adil dan makmur?”
Bung Hatta menyebut, bahwa Peringatan Kemerdekaan pada 17 Agustus 1950 bisa dikatakan sebagai Proklamasi Kemerdekaan kedua, setelah Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan, selepas bubarnya RIS (Republik Indonesia Serikat).
Jadi, masalah “Persatuan” itu menjadi pertimbangan penting dalam pernyataan Proklamasi Kemerdekaan. Bung Karno, dalam satu tulisannya di buku Dibawah Bendera Revolusi mengutip pendapat Ernest Renan (1882), bahwa yang disebut “bangsa” itu adalah suatu nyawa, suatu asas-akal, yang terjadi dari dua hal. Pertama, rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani SATU riwayat. Kedua, rakyat itu sekarang harus punya kemauan, keinginan hidup menjadi satu.
Jadi, kata Bung Karno, “Nasionalisme itu suatu iktikad; suatu keinsafan rakyat bahwa rakyat itu satu golongan, satu bangsa!”
**