Perlukah Proklamasi Kemerdekaan Ketiga?
Saat ini soal “persatuan jiwa bangsa” itu menjadi masalah yang serius. Umat Islam Indonesia sebagai mayoritas bangsa selama ini menjadi perekat utama bersatunya jiwa rakyat Indonesia ke dalam NKRI. Masalah bangsa bukan hanya soal ekonomi dan kesehatan badan, tapi masalah agama. Sebab, umat Islam memandang Indonesia sebagai amanah warisan yang harus dijaga dan dikokohkan, bahkan dimuliakan.
Pada tahun 1945, ada tokoh sentral persatuan bangsa ketika itu, yaitu Bung Karno. Bung Karno berjasa besar dalam mempertemukan aspirasi-aspirasi ideologis di BPUPK dengan membentuk Panitia Sembilan. Kemerdekaan pun bisa diwujudkan karena adanya kesepakatan antar berbagai tokoh bangsa terkemuka.
Pada 18 Agustus 1945, umat Islam bersedia “mengalah” untuk mencapai kesepakatan dengan komponen bangsa lainnya. Tujuh kata dalam Pembukaan UD 1945 dibuang dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Beberapa bagian dalam batang tubuh UUD 1945 pun ikut dicoret. Proklamasi Kemerdekaan pun selamat.
Ketika penjajah datang kembali didukung tentara Sekutu, tampillah pemimpin tertinggi umat Islam Indonesia ketika itu, KH Hasyim Asy’ari, dengan fatwa jihadnya. Bahwa, wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan dan siapa yag mati dalam medan perang itu, maka hukumnya syahid. Maka, ribuan kiai dan santri turun ke medan perang melawan tentara Sekutu bersenjata canggih.’
Jadi, Proklamasi Kemerdekaan pun selamat. Ketika Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta serta banyak petinggi negara ditangkap, tampillah Sjafroedin Prawiranegara sebagai Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Setelah itu, tampil pula Mohammad Natsir sebagai tokoh Mosi Integral yang mengembalikan Indonesia ke bentuk Negara Kesatuan.
Kini, di era serba internet dan dominasi media sosial, maka masalah persatuan dan kesatuan bangsa perlu direnungkan dengan serius. Sejumlah negara di Timur Tengah telah mengalami krisis serius dalam soal persatuan, terutama diakibatkan pengaruh media sosial. Informasi-informasi yang melimpah tanpa kendali dapat memutuskan tali silaturrahim antar saudara atau antar sahabat.
Kini, perbedaan mazhab, ideologi politik, paham keagamaan, kesenjangan ekonomi, aneka kepentingan pragmatis, bahkan orientasi seksual pun turut mewarnai percaturan komunikasi dalam berbagai bidang kehidupan. Begitu mudahnya suatu isu diolah sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kontroversi, friksi, bahkan disintegrasi sosial.
Masalah Palestina, misalnya, selama ini tidak terdengar ada pihak yang kontra dengan pembelaan Indonesia terhadap rakyat Palestina. Sebab, sejak masa kemerdekaan, Indonesia secara resmi mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka. Kini, masalah Palestina itu pun mulai dipersoalkan.
Karena itu, dalam menghadapi zaman baru ini, para tokoh dan elite Indonesia perlu berpikir serius untuk merumuskan “kesepakatan baru”. Ini semacam memperharaui keinginan untuk bersatu, sebagai satu bangsa. Seperti dikatakan Ernest Renan, bahwa dalam satu bangsa, rakyat harus punya kemauan, keinginan hidup menjadi satu.
Tahun 1945, ada Bung Karno. Tahun 1950, ada Mohammad Natsir. Kini di tahun 2021, perlu banyak orang yang bersepakat untuk bersatu! Sebab, menyelamatkan dan membangun bangsa besar ini perlu kebersamaan. Wallahu A’lam bish-shawab.
Depok, 12 Agustus 2021.
Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)