NUIM HIDAYAT

Pesan Penting Pak Natsir kepada Aktivis Dakwah

Kedua, sebagai akibat penjajahan yang terlalu lama ialah kondisi yang secara singkat dilukiskan dengan fenomena keterbelakangan dalam segala hal terutama dalam bidang kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketiga, ialah fenomena kemiskinan, baik dalam arti kemiskinan ekonomi maupun kemiskinan structural dan budaya. Gejala kemiskinan ini akan mempunyai dampak yang amat luas dalam kehiduan umat walaupun mereka telah memperoleh kemerdekaannya secara politik.

Akibat penjajahan berabad-abad itu baik yang lahir maupun batin tidak mudah diatasi. Namun demikian yang penting adalah kita harus memahami problem yang kita hadapi, untuk selanjutnya secara bertahap dicari jalan pemecahannya. Kemampuan memahami masalah ini sendiri sudah merupakan satu kemajuan tersendiri.

Natsir mengakui ada tiga orang yang mempengaruhi pertumbuhan pemikirannya. Pertama, gurunya di bidang keagamaan adalah Ahmad Hasan. Seorang ulama besar yang berkepribadian tinggi. Ia berasal dari Singapura. Ia hidup dari pekerjaan mereparasi ban mobil. Disinilah ia bertemu dengan ulama besar, Kiai Wahab. Dari Surabaya ini kemudian ia pindah ke Bandung. Di Bandung selain mengajarkan agama, ia mengajari orang bertenun kain. Ia tidak mengajar di sekolah, melainkan di mushola. Apa yang diajarkannya rupanya menarik perhatian orang-orang muda.

Pada waktu itu (1927) saya masih belajar di AMS (SMA zaman penjajahan). Pada suatu ketika saya diajak oleh teman-teman untuk mendengarkan ceramah Tuan Hasan. Sejak itulah saya mulai tertarik dengan cara-cara ia menginterpretasikan Islam dengan menghubungkannya dengan kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Ia memberantas khurafat, kekolotan dan kebekuan. Semakin saya ikut ceramah-ceramahnya semakin simpatik saya kepadanya. Sebagai anggota Jong Islamieten Bond (JIB) saya perlu memberikan pengertian yang benar tentang Islam kepada teman-teman saya yang sekuler. Karena itu saya perlu banyak belajar agama untuk selanjutnya saya berikan dalam kursus-kursus JIB. Sejak itulah kami saling berkenalan, berdiskusi dan berdialog dengan Tuan Hasan.

Di sekolah, kami terbiasa diajari berfikir secara mendalam terutama berkenaan dengan pelajaran sejarah, sejak dari yang paling klasik sampai dengan hal-hal yang berupa kajian filsafat, yang sering membuat saya dihinggapi semacam keragu-raguan. Hal yang semacam itu kemudian saya diskusikan dengan Tuan Hasan. Dari sini pulalah Tuan Hasan mulai memperhatikan saya. Dan dari pertemuan saya dengan Tuan Hasan ternyata apa yang saya anggap baru itu, baginya justru biasa-biasa saja dan ia bisa memahami pemikiran filsuf Barat tersebut. Ini menunjukkan betapa luas pengetahuannya.

Ada beberapa pengalaman pribadi yang menarik tentang cara-cara yang khas Tuan Hasan. Seperti telah saya (Natsir) katakan, saya belajar agama dan bahasa Arab dari beliau. Walaupun dasar-dasarnya sudah saya dapatkan di sekolah diniyah dulu di Sumatra. Saya belajar dengan berkunjung ke rumahnya di Bandung. Kalau saya datang ke tempatnya, dia hampir selalu sedang asyik menulis. Biasanya menulis tafsir al Quran. Karena dia sedang sibuk, maka saya balik ke luar kamar. Ketika ia melihat, ia berseru memanggil,”Natsir, jangan keluar duduklah.” Jawab saya, ”Tuan kan sedang bekerja”. “Ya duduklah,” katanya.

Maka mulailah saya ‘berdebat’ dengan beliau. Biasanya sejak habis Ashar sampai Magrib. Apa yang saya maksud dengan berdebat itu memang benar-benar berdebat. Saya membawa permasalahan lalu kita kaji, atau Tuan Hasan sendiri yang melontarkan masalah pada saya. Kalau saya tidak dapat memecahkan, maka kepada saya dibawakannya sejumlah buku untuk dipelajari. Pada pertemuan berikutnya saya mesti dapat menguraikan jawaban permasalahan yang diajukan. Demikian seterusnya cara Tuan Hasan mengajar saya.

Pada perkembangan berikutnya, setelah saya duduk di kelas tiga, Tuan Hasan meminta saya memimpin sebuah majalah Pembela Islam. Karena tugas inilah hubungan saya dengan Tuan Hasan semakin intim.

Dari uraian di atas jelas, bahwa pada mulanya saya tidak belajar agama secara formal, tapi belajar dengan cara kontak langsung dengan seorang ulama besar.

Dari pertemuan dengan Tuan Hasan itu satu hal yang sangat berkesan pada diri saya ialah caranya mendorong saya untuk maju. Ia tak pernah memaksakan satu pola tertentu kepada saya, dia selalu mendiskusikan bersama dan mendorong saya selalu berpikir.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button