PHPU, Hak Angket dan ‘Amicus Curiae’
Pertanyaannya, hingga memanfaatkan waktu PHPU oleh para paslon 01 dan 03 sampai 22 April 2024 di MK itu bisakah berakselerasi —paling tidak, dimulai berjalannya Hak Angket yang masih tersandera oleh keputusan Puan Maharani— lagi-lagi terdelik oleh modus nepotisme, korupsi dan kolusi dinasti politik keluarga. Lebih menyayangi suaminya daripada bangsanya—padahal PDIP itu “ratu mahkota” kemenangan Hak Angket itu?
Ketiga, inilah fenomena yang paling menarik di tengah dilema persoalan tarik-menarik tersendatnya Hak Angket dan dari sengketa di PHPU.
Yang bisa memotivasi untuk membakar membangkitkan semangat dan harapan upaya pemulihan demokrasi. Sekaligus, memperbaiki citra diri MK sendiri, adalah adanya partisipasi 303 para Guru Besar dari civitas kampus yang menghimpun aspirasi pemikiran dan keilmuan, berupa meng- advisory dalam beleid pernyataan literatis akademis “Amicus Curiae”.
Yang butir-butir keilmuan dan pengetahuan itu akan memberikan masukan strategis bagi para hakim MK untuk menganalisis secara lebih berbobot dalam melatarbelakangi mutu amar keputusannya setelah memperhatikan dan mempertimbangkan benar-benar beleid pernyataan itu.
Ini bisa pula sebagai pionir luar biasa menjadi nilai dan contoh baru bagi cara keberkembangan demokrasi bagi negara-negara di seluruh belahan dunia ke depannya. Dengan sampai turun gunung para Guru Besar pakar keilmuan itu.
Yang ditengarai kondisi demokrasi yang tengah sakit. Sekaligus, upaya preventifikasi seringkali dari pada mencari jalan keluar yang dipaksakan dengan suatu aksi gerakan People Power.
Yang sudah pasti akan menimbulkan resiko banyak memakan korban jiwa karena bentrokan aparat keamanan dengan para demonstran di tengah-tengah situasi chaos dan destruktif yang menyertainya.
Maka, beleid pernyataan “Amicus Curiae” itu yang dihimpun dari sebanyak 303 para profesor ahli politik dan tata negera —yang sesungguhnya independen dan netralitas— menjadi jalan revolusi paling damai sebagai solusi jalan keluar dari kekisruhan hanya akibat seorang Jokowi yang telah membuat demokrasi sesuai prinsip, asas dan falsafah Pancasila dan UUD 1945 tengah dirongrong bahkan cenderung diluluhlantakkan.
Semoga MK yang menjadi satu-satunya lembaga hukum yang paling diharapkan —meski dibayang-bayangi oleh hantu setengah ketidakpercayaan itu tak terbukti dan mampu mengambil amar keputusan terbaik bagi rakyat, bangsa dan negara.
Terlebih, akibat masih lebarnya disparitas kebodohan dan kemiskinan rakyat yang dimanfaatkan oleh para elit politiknya dengan “kebohongan dan pembohongan politik” itu.
Yang penyadaran dan kesadarannya tengah “dimelekkan” oleh kelas komunal menengah kaum intelektualitas itu:
Berbareng bergerak bersama untuk melakukan pilihan melalui revolusi damai yang dipelopori beleid pernyataan “Amicus Curiae” atau revolusi perang fisik melalui People Power itu ketika akhirnya PHPU itu dicurangi dan diculasi lagi? Atau Hak Angket Itu berhasil dimentahkan dan dibendung pula? Wallahua’lam Bishawab.
Mustikasari, 1 April 2024
Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan