Pindah Ibu Kota Untungkan China?
Gonjang ganjing pemindahan ibu kota negara sudah bukan wacana lagi, sekarang sudah resmi diumumkan oleh Presiden Jokowi dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019 lalu. Sebelumnya, melalui rapat terbatas pemerintah pada 29 April 2019, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memindahkan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa, tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
Menurutnya, pemindahan lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Keputusan itu dilakukan setelah pemerintah melakukan kajian intensif. Dalihnya, beban Jakarta serta beban Pulau Jawa semakin berat dengan penduduk 150 juta atau 54 % dari total penduduk Indonesia.
Setali tiga uang, tiga mantan Gubernur DKI yakni Sutiyoso, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat pun memberi dukungannya. Sutiyoso berpendapat, pemindahan ibu kota negara akan mengurangi beban Jakarta karena banyak orang yang datang. Selama ini, Jakarta menjadi pusat pemerintahan, pariwisata, perdagangan, ekonomi, budaya dan pendidikan. Menurutnya, pemindahan ibu kota negara sebenarnya merupakan rencana lama yang tak dieksekusi karena persoalan biaya. Dia menilai pemerintah kini sudah memiliki biaya untuk memindahkan ibu kota negara sehingga rencana itu bisa dieksekusi.
Begitu pun, Djarot berpendapat bahwa pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur akan berdampak baik bagi Jakarta. Menurutnya bisa mengurangi permasalahan di Jakarta yang sudah terlalu kompleks seperti kemacetan, polusi, banjir berkurang, mengurangi banyaknya permukiman kumuh serta masalah sampah. Namun, Ahok tidak mau berkomentar banyak saat ditanya tanggapannya soal pemindahan ibu kota negara tersebut. Ia mengatakan, itu merupakan kewenangan pemerintah pusat. “Saya kira itu keputusan lama sebetulnya,” kata Ahok di Gedung DPRD DKI.
Namun, kritikan pun muncul dari kalangan akademisi, salah satunya dari Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Emil Salim. Emil Salim menolak mentah-mentah rencana pemindahan Ibu Kota. Menurutnya, alasan pemerintah memindahkan Ibu Kota karena kemacetan sampai ancaman tenggelam tidak masuk akal dan keliru. Ia pun mengatakan bahwa keputusan pemerintah memindahkan Ibu Kota di tengah masalah yang menimpa Jakarta justru seperti lari dari tanggung jawab. Seharusnya, kata dia, pemerintah menyelesaikan masalah-masalah tersebut. “Logika saya, kalau [DKI Jakarta] rusak, harus diperbaiki. Tapi ini menjadi alasan untuk pindah. Jakarta macet, Jakarta terendam, rusak, harus pindah,” tegasnya.
Namun, kita pun pasti bertanya-tanya, apakah memang benar alasan pemindahan ibu kota hanya terkait perbaikan tata kelola kota saja? Ataukah ada yang lain? Memang, terkesan perpindahan ibu kota ini sangat tergesa-gesa padahal perlu dikaji ulang dampaknya bagi Indonesia dan rakyatnya. Kita tahu saat ini kondisi rakyat Indonesia kian hari kian mengkhawatirkan, tengoklah berapa banyak yang hidup di kolong-kolong jembatan tanpa rumah, tanpa pakaian tanpa makanan, tanpa pendidikan yang layak. Hidup mereka penuh kesengsaraan. Di tengah kemelaratan rakyatnya, ternyata Indonesia mempunyai utang APBN sangat besar, hingga akhir Juni 2019 mencapai Rp 4.570,17 triliun.
Dari sini kita bisa lihat, apakah negara punya uang dan mampu membiayai pembangunan megastruktur ibu kota baru? Sangat mustahil sekali. Pasalnya menurut Bappenas, anggaran pemindahan ibukota cukup besar berkisar antara Rp323-466 triliun. Saya yakin, pemerintah tidak punya biaya, jika pemerintah bersikeras untuk melanjutkan rencana pembangunan ini, jelas, jalan satu-satunya ada keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur publik di ibukota baru.
Muhammad Ishak Razak, peneliti Core Indonesia kepada Media Umat, menegaskan,” Apalagi, Pemerintah juga sampai saat ini tidak memiliki solusi yang cukup logis untuk memperoleh dana sebesar itu, selain melego aset-aset pemerintah di ibukota Jakarta. Kalaupun dipaksakan maka jalan satu-satunya adalah meningkatkan pembiayaan lewat utang.”
Untuk pembangunan ibu kota baru, pemerintah berusaha seminimal mungkin akan mengambil dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun akan mengadakan kerja sama dengan swasta yakni badan usaha (BU) dalam skema KPBU (Kerja sama Pemerintah Badan Usaha).
Saat ditemui di Gedung Bappenas, Jakarta Selasa 27 Agustus 2019, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan salah satu skema kerja sama yang akan digunakan adalah availability payment. Ini berarti, badan usaha akan membangun gedung, mengoperasikan dan merawat serta memberikan layanan kepada pemerintah. Nantinya pemerintah akan membayar atas layanan kepada badan usaha tersebut dalam kurun waktu tertentu sesuai perjanjian.
Bambang mencontohkan, misalkan badan usaha membangun dan mengelola gedung dengan masa konsesi selama 20 tahun. Dalam kurun waktu 20 tahun itu pemerintah akan membayar sejumlah uang kepada badan usaha berdasarkan standar layanan minimal yang disepakati dalam perjanjian. Setelah masa konsesi selesai, maka gedung di ibu kota baru tersebut menjadi milik pemerintah. “Sampai nanti gedung itu menjadi milik pemerintah sepenuhnya,” tandasnya.
Bagaimana kalau pemerintah kita tidak sanggup membayar dana sejumlah uang kepada badan usaha tersebut? Berharap Indonesia akan maju justru malah berpotensi terpuruknya negeri ini. Kalau sudah begini, bisa jadi Indonesia tidak punya ibu kota yang tetap, yang ada malah akan ngontrak sama swasta. Bayangkan saja jika ibu kota kita ngontrak. Semua pasilitas infrastruktur seperti gedung-gedungnya itu nyewa semuanya. Negara punya beban lagi untuk bayar biaya sewa, kalau nunggak dan tidak bisa bayar bagaimana? Bisa-bisa diusir sama yang punya kontrakan. Kalau sudah diusir bagaimana jadinya. Ngeri sekali bukan?
Nah, ketika swasta bermain begitulah dampaknya. Siapa yang untung? Sudah pasti pemilik modal yakni badan usaha swasta. Apalagi jika pihak swastanya adalah pihak aseng bermain. Bisa jadi yang terlibat adalah China. Pasalnya, sangat kentara sekali keterlibatan China. Dari 28 proyek yang ditawarkan kepada investor China ini, lebih dari 50%-nya berada di Kalimantan. 13 proyek di antaranya ada di provinsi Kalimantan Utara.
Inilah cerminan dari sistem kapitalis. Ketika perekonomian Indonesia menggunakan sistem kapitalis, maka siapa yang mempunyai modal yang besar dialah yang berkuasa. Serta pemilik modal lah dapat menentukan aturan sesuai dengan keinginan mereka. Maka, kita mau tidak mau, suka atau tidak suka harus mau diatur oleh keinginan para pemilik modal.
Dari paparan di atas kita bisa tahu, pemindahan ibu kota sebuah solusikah? Tentu tidak. Malah akan semakin memperburuk kondisi Indonesia. Jika memang swasta di sini adalah China, maka kedaulatan Indonesia di tangan mereka. Sudah pasti, Indonesia harus suka rela menuruti kehendak mereka. Penjajahan dan cengkeraman China akan semakin kuat, akibatnya hidup rakyat Indonesia pun akan semakin melarat. Mereka hidup miskin di negerinya sendiri padahal kekayaannya melimpah. Atau bisa jadi hidup jadi pembantu di rumahnya sendiri. Bahkan yang lebih parah lagi diusir di negerinya sendiri. Akankah kita akan bernasib seperti itu.
Siti Aisyah S.Sos.
Ibu Rumah Tangga, tinggal di Depok