Polemik Salam Pancasila, Ada Aroma Overdosis?
Padahal jika kita telisik, pangkal perpecahan di negeri ini bukanlah dikarenakan sebatas salam keagamaan atau ajaran agama yang dipraktikkan khususnya oleh mayoritas muslim. Jauh sebelum bangsa ini lahir dengan Pancasila, Islam sudah mengajarkan mengenai nilai-nilai toleransi. Seorang ulama masyhur, Yahya Zainul Maarif, atau lebih akrab disapa Buya Yahya, melalui channel Youtube Al-Bahjah TV, beliau menyampaikan kegundahannya, menurutnya sejak lama Indonesia sudah damai dengan perbedaan yang ada, baik suku maupun agama.
Namun dewasa ini, justru terjadi kegaduha, kekacauan, yang disulur oleh pihak tertentu, dan mengganggu perbedaan yang ada di tengah masyarakat, Keberagaman dan perbedaan ini selalu dibenturkan dengan pernyataan-pernyataan kontroversial oleh para tokoh dan pejabat, terutama berkaitan dengan nilai-nilai keyakinan agama masyarakat. Di saat orang muslim tidak mengucapkan Natal, tidak ada yang mempermasalahkan, tidak ada yang melabeli sebagai muslim intoleran, atau sebutan-sebutan lainnya. Ketika ada orang di luar agama Islam dikatakan kafir, tidak ada yang sakit hati, dan bermasalah, karena memang itu diyakini di dalam suatu agama yang memandang orang di luar agama Islam sebagai kafir.
Berbeda dengan saat ini, seolah-olah seorang muslim yang tidak mengucapkan selamat Natal, mengucapkan kafir, lantas menjadi muslim yang intoleran, radikal, ekstremis, dan sebagainya. Hal ini menjadi masalah besar dikemudian hari, yang akan menimbulkan perpecahan di antara masyarakat, memantik sikap saling mencurigai sesama, dan jauhnya persatuan masyarakat. Lebih jauh, iklim suasana akan semakin memburuk dengan gorengan isu radikalisme, yang seolah-olah menjadi ancaman terbesar bangsa. Padahal beberapa kelompok bersenjata sudah berani eksis dimana-mana dan secara nyata berupaya memberontak kepada negara, namun tak dituding sebagai kelompok pemecah belah bangsa? Wajar saja, jika pandangan ini memang mengarah kepada Islam sebagai agama mayoritas yang seakan “intoleran”.
Ucapan adalah Doa
Sebagai seorang muslim, memahami setiap ucapan/perkataan jika diiringi dengan pemahaman terhadap maknanya, akan memberikan pengaruh yang lebih. Terlebih ketika ucapan itu bentuknya doa. Maka sudah seharusnya, kita akan selalu teringat untuk menjaga kata-kata yang diucapkan, karena sudah tercatat oleh malaikat, dan itu akan terwujud dalam kenyatan, sebagaimana tertuang dalam surat QS. Qof: 18. As-Salam adalah Allah, karena salah satu nama Allah adalah as-Salam seperti yang ditunjukkan dalam surat al-Hasyr: 23, “Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Sang Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Salam, Yang Mengaruniakan Keamanan…”
As-Salam merupakan isim masdar yang artinya as-Salamah (keselamatan). Karena itu, bisa dibaca dengan makrifat (ada alif lam di depan), yaitu Assalamu, dan bisa juga dibaca dengan nakirah (tanpa ada alif lam di depan), yaitu Salamun. Berdasarkan makna ini, ketika ada seorang muslim mengucapkan Assalamu’alaikum kepada muslim yang lain, berarti sedang mendoakan, semoga keselamatan bersama kalian. Kesimpulannya, ucapan salam dipahami sebagai kalimat doa (konsultasisyariah.com).
Ucapan Assalamu’alaikum mengandung doa dan orang yang mengucapkan serta menjawabnya jelas mendapat pahala dari Allah SWT. Sementara ucapan jenis lain, misalnya salam Pancasila, salam merdeka, adalah perbuatan adat yang tidak memiliki arti. Jelas sangat berbeda dengan Assalamu’alaikum merupakan ucapan yang mengandung makna kebaikan, saling mendoakan, dan sebagai ciri khas umat Islam,
Rasanya, hanya ada di era rezim saat ini yang benar-benar ‘aneh’, agama mayoritas dianggap ancaman, sampai-sampai masalah salam saja sedemikian diatur. Bahkan berani mengganggu dan mengeluarkan statement yang menyaktii dan mencurigai umat Islam sebagai agama mayortias mulai dari istilah-istilah tendensius seperti good looking, rekontekstualisasi fikih, salam Pancasila, dan lainnya. Allahu’alam bisshowab.
Ahsani Annajma, Penulis dan Pemerhati Sosial.