Politik Air Keruh
Guna berjalan melenggangkan, melicinkan dan memuluskan jalan kekuasaan otoritarianisme itu bagaimana tetap bercokol mengcengkram kedaulatan NKRI:
Seperti gaya PKI dahulu, perlahan dengan tidak kentara dan laten, tetapi dipastikan akan mampu meruntuhkan dan merontokkan sendi-sendi pondasi bangsa dan negara Pancasila dan UUD 1945.
Pembuktian bahwa otoritarianisme itu diabsahkan saat mana muncul deras wacana bagi Jokowi memperpanjang jabatan Presiden itu tiga periode.
Meskipun dikandaskan oleh PDIP yang tak terduga publik ternyata konsisten taat konstitusional —itulah Jokowi menjadi petugas partai ditantang dalam makna artikulasi kesejatiannya —Jokowi ternyata malah “kabur”. Alias lari tunggang langgang dari gelanggang.
Kemudian meracik ekstrasi kekuasaan lain berupa membangun kekuasaan keberlanjutan melalui politik dinasti bagi keluarganya.
Setelah tampaknya sengaja didesain dan direncanakan rekayasa “perkawinan politik” Anwar Usman menjabat ketua MK dengan adik kandungnya Jokowi, Idayati.
Jokowi pun melegitimasi aliansi politik berupa koalisi partai politik KIM untuk mengasistensinya bagaimana pun caranya membawa Gibran ke istana merenggut jabatan Wapres.
Dan lagi-lagi dengan gaya kepemimpinannya yang mudah ibarat hewan bunglon “mengkamuflase” dan membohongi publik diabaikan. Tak diakuinya bahwa Jokowi melakukan cawe-cawe politik.
Bahkan, lebih dari sekadar cawe-cawe politik, dialah yang menjadi “dirigen politik” yang mengorkestrasi segala kecurangan di Pilpres 2024.
Yang atas hegemoni kekuasaannya “menyelewengkan” bansos sebagai politik gendong babi, menyalahgunakan kewenangan aparatur desa, TNI dan Kepolisian serta atas sokongan kekuatan oligarki menghamburkan amplop-amplop money politic.
Maka, hasil instan dan sintetis memaksakan politik dinasti terhadap Gibran dan Kaesang tanpa kaderisasi unggul dan mumpuni, kepantasan, kelayakan, kepanutan dan kepatutan dari suatu meritokrasi ketatanegaraan yang terukur secara personal ketokohannya, profesional dan moralitasnya serta religiusitasnya bersenyawa dengan karakter patriotisme kebangsaannya: lebih populer dengan adagium idealisme “Vox Populi Cox Dei”.
Justru, malah Gibran Rakabuming Raka nyata-nyata yang merupakan hasil perselingkuhan anak haram konstitusi dan pemaksaan politik dinasti itu —boleh jadi kebal hukum manusia tetapi tidak akan kebal hukum Tuhan— tengah dikuliti dan ditelanjangi habis dengan terkuaknya kasus akun di Kaskus, Fufufafa.